Tumpukan kertas undangan dengan foto sepasang calon pengantin di bagian belakang yang sebelumnya berada dalam kantong plastik besar, kini berhamburan di ruang tamu. Namira hanya mampu menunduk dengan air mata yang terus menetes.
“Ini mau kamu?!”
Pak Slamet dengan penuh amarah menyobek satu undangan, lalu melempar ke wajah Namira. Napas laki-laki berkumis lebat itu terdengar tidak beraturan. Wajahnya memerah dengan tatapan mata tajam ke arah putri bungsunya itu. Pak Slamet tidak berucap lagi, ia memilih duduk di kursi untuk meredakan rasa geramnya.
Isakan tangis terdengar jelas memenuhi ruangan dengan dinding bercat biru muda itu. Bukan hanya Namira, Bu Wulan pun tidak dapat menahan rasa sedih menyaksikan emosi sang suami.
“Kalau niatmu mau mempermalukan keluarga kita, silakan lanjutkan. Silakan! Terserah kamu mau apa. Bapak udah nggak bisa ngomong lagi.”
Namira masih tergugu. Ia ingin berbicara, tetapi lidahknya terasa kelu. Dirinya paling takut jika melihat bapaknya marah. Laki-laki itu bertemperamen keras. Namun, untungnya Pak Slamet bukan ayah yang ringan tangan. Semarah apa pun hanya dilampiaskan lewat kata-kata.
“Bu, bakar saja undangan ini,” titah Pak Slamet dengan pandangan tidak lepas dari Namira.
Bu Wulan dan Namira sontak menengadahkan kepala. Mereka menggelengkan kepala- berkali-kali.
“Nak, mau kamu apa? Maksudnya nggak mau nikah sama Arman tadi apa? Jelaskan sama kami.”
Bu Wulan akhirnya berbicara. Ia paham putrinya belum menyelesaikan ucapan yang akhirnya membuat sang suami naik pitam . Dirinya pun paham, jika suaminya sedang banyak pikiran menjelang pernikahan putri bungsunya itu.
Namira menarik napas panjang seraya memejamkan mata. Kalimat-kalimat yang diucapkan Arman di ujung telepon tadi masih terekam jelas di benaknya. Calon suami yang merupakan kakak tingkatnya di kampus itu menjelaskan bahwa pamannya tidak memberikan restu untuk pernikahan mereka. Lebih mencengangkan lagi jika alasan yang terkuak tidak lain bahwa Arman sudah dijodohkan dengan seorang gadis keturunan bangsawan Mandar.
“Aku cuma nggak mau pernikahan ini hanya satu pihak saja, Pak. Hanya keluarga kita yang menyambut.”
Pak Slamet menghela napas pendek.
“Kalau ibunya tidak merestui pernikahan ini, tentu bapak sudah menolak lamaran Arman. Bapak nggak mau mengorbankan putrinya sendiri. Seharusnya kamu itu bisa memahami, jarak Malang sama Polewali itu bukan seperti Malang ke Jogja. Jauh, Nak.”
Namira manggut-manggut. Ia juga paham tentang luasnya jarak anatara rumahnya dan kampung halaman Arman yang terletak di ujung barat Pulau Sulawesi. Namira ingin berkata sejujurnya tentang penolakan paman yang berperan sebagai pengganti ayah Arman yang sudah meninggal sejak ia duduk di bangku SMP itu.
“Maaf, Pak, Bu. Aku sedih kalau lihat orang tuaku nggak bisa ketemu besannya.”
Akhirnya alasan itu yang meluncur dari bibir tipis Namira. Ia lebih baik mengalah demi nama baik keluarganya. Tidak mungkin jika hari H yang tinggal satu minggu lagi dibatalkan. Undangan tinggal menyebar, juga keluarga besarnya sudah diundang untuk turut membantu persiapan. Apa jadinya jika dirinya memaksa membatalkan rencana pernikahan?