Semalam, pelaksanaan akad nikah berlangsung dengan lancar. Saksi dari pihak Arman adalah kepala sekolah di tempatnya mengajar. Sosok tersebut sudah dianggap sebagai ayah di tanah rantau oleh laki-laki berusia dua puluh enam tahun itu. Dari pihak Namira yang bertindak sebagai saksi adalah kakak dari Pak Slamet.
Namira menatap wajah yang masih tertidur di sampingnya. Jemari lentik itu mengusap lembut hidung bangir di hadapannya. Ia tidak menyangka bisa sampai di titik ini dengan laki-laki yang ia cintai. Tidak mudah untuk menerima lamaran sosok berperawakan tenang tersebut. Perbedaan budaya dan juga adat istiadat sempat membuatnya ragu. Banyak nada sumbang di sekitar, saat Arman baru mendekatinya. Salah satunya adalah asumsi bahwa laki-laki luar Jawa terutama daerah Indonesia Timur memiliki sifat keras dan temperamental. Akan tetapi, ucapan miring itu tidak terbukti. Namira berhasil memastikan bahwa pendapat sebagian orang itu salah. Arman ternyata jauh lebih penyabar daripada dirinya.
Bukan hanya selentingan tentang karakter pemuda berbeda suku saja yang hampir memengaruhi keputusan Namira. Kedua orang tuanya pun sempat mempersulit walaupun sudah jatuh hati dengan sosok kekasih putrinya itu. Mereka mengajukan syarat yang cukup berat. Lamaran akan diterima jika mereka tetap tinggal di wilayah Malang Raya. Namira tidak boleh diajak menetap di Polewali Mandar. Arman menjawab dengan tegas akan menyanggupinya. Rasa cinta pada Namira membuatnya harus berkorban. Beruntung, ibunya bersedia diajak pindah ke Malang, kota tempatnya mencari nafkah. Namun, ternyata tidak semudah itu, restu sang paman menjadi penghambat untuk membawa Bu Hamidah pindah ke kota dengan julukan Kota Bunga tersebut.
Arman membuka mata pelan karena merasa geli saat ada yang memainkan janggutnya. Ia tersenyum seraya mengusap lembut pipi sebelah kanan Namira. “Istriku, aku mencintaimu karena Allah.”
Keharuan semakin menyeruak di kalbu Namira. Bulir bening menetes membasahi pipi. Arman dengan sigap menyusut air mata istrinya. Ia lalu merengkuh Namira ke dalam pelukan. Sejenak mereka saling merasakan debaran kuat di dada masing-masing.
“Udah azan dari tadi, Kak. Cepet mandi, deh. Keburu orang rumah bangun.”
“Emang kenapa mandi kalau orang rumah sudah bangun?” tanya Arman seraya tersenyum jahil.
Pipi Namira bersemu merah. Perempuan bertubuh ramping itu segera beranjak dari ranjang. Ia membuka lemari pakaian, lalu mengambil handuk untuk Arman.
“Nggak berani mandi. Air di sini kaya es kalau subuh,” ujar Arman dengan nada merengek.
Namira tertawa melihat ekspresi sang suami. Ia mendorong tubuh tegap itu keluar dari kamar. Memang benar yang dikatakan Arman. Suhu udara di Kota Batu saat pagi menjelang itu terlampau dingin. Biasanya Namira akan berangkat mandi jika jam sudah menunjuk pukul tujuh. Namun, kondisi setelah sah menjadi sepasang suami istri mengharuskan mereka harus bersentuhan dengan dinginnya air setelah azan Subuh berkumandang.
***
Resepsi akan diselenggarakan satu jam lagi, yaitu mulai pukul sepuluh pagi hingga malam. Orang tua Namira tidak menggunakan gedung melihat kondisi Arman yang tidak bisa menghadirkan keluarganya. Mereka memilih menggelar pesta di rumah dengan menyewa tenda yang cukup besar dengan hiasan lumayan mewah di bagian atapnya.
Namira sudah siap dengan baju pengantin adat Jawa. Kebaya silver dengan bawahan batik berwarna nude membuat penampilannya terlihat elegan. Tidak lupa kerudung simpel dipadu mahkota dan ronce melati yang menjutai dari kepala hingga pinggang. Pikirannya tiba-tiba berkecamuk. Upacara panggih yang merupakan puncak dari tradisi adat perkawinan Jawa di mana mempelai laki-laki dan perempuan akan dipertemukan, segera dilaksanakan. Setiap menyaksikan adat itu, ia selalu tidak bisa menahan tangis. Apalagi sekarang dirinya mengalami sendiri. Ditambah pula, Arman diantar oleh rombongan yang bukan dari keluarga yang ada hubungan darah. Namira menarik napas panjang, berusaha menahan sesak di dada.
Arman berjalan sekitar lima puluh meter menuju rumah Namira yang diapit pembawa kembar mayang. Laki-laki dengan baju beskap berwarna senada dengan mempelai wanita itu terlihat gagah. Sepajang jalan, bisik-bisik tetangga mulai terdengar. Mereka memuji ketampanan suami Namira itu. Wajah yang bersih dan senyum menawan.
Upacara panggih pun dimulai. Dari prosesi lempar gulungan daun sirih hingga saling suap nasi kuning terlaksana dengan baik. Namira terus mengembangkan senyuman. Hingga sampai di acara sungkeman, Namira tidak mampu lagi menahan air matanya. Ada satu yang hilang dari upacara panggih kali ini. Ia dan Arman harus melewatkan prosesi menjemput besan, di mana kedua orang tuanya harus menjemput orang tua Arman untuk duduk bersanding dalam sungkeman.
“Seandainya ada Mama di sini, Kak,” ucap Namira lirih setelah prosesi selesai. Arman menanggapi isi hati istrinya dengan menggenggam erat jemari perempuan yang kini menjadi tanggung jawabnya hingga maut memisahkan.
Serangkaian acara adat Jawa sudah dilaksanakan. Setelah menikmati hidangan yang disajikan, rombongan yang mengantar pun pamit undur diri. Mata laki-laki itu terlihat berkaca-kaca saat menyalami rekan-rekan yang sudah menemani hari istimewanya itu. Tidak ada hubungan darah, tetapi mereka dengan semangat menyambut pernikahan Arman dan Namira. Pihak sekolah bahkan menyewa bis agar dapat menampung semua guru juga karyawan beserta keluarga masing-masing sehingga dapat menghadiri pernikahan rekan kerja mereka.