“Nggak salah denger mau mudik nunggu sukses?” Namira berdecak sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Kakak nunggu jadi kepala sekolah dulu? Berapa puluh tahun lagi, Kak?”
Namira tidak habis pikir jika suaminya memiliki pandangan seperti itu. Ia sendiri bingung menafsirkan kata sukses sebagai acuan untuk bekal pulang kampung dari diri seorang Arman Wardana. Menurutnya, laki-laki itu malah berniat menghindari masalah bukan mencari solusi. Meraih kesuksesan dalam karir mengajar tentu tidak bisa didapat dengan instan. Apalagi status Arman masih sebagai guru tidak tetap yayasan. Butuh waktu lama untuk mencapai puncak karir sebagai pengajar.
“Aku paham siapa A’ba, Mi. Beliau akan selalu mengungkit perngorbanan yang sudah diberikannya untukku. Makanya, aku harus sukses dulu,” ucap Arman yang menjelaskan tentang sosok pamannya.
“Terus, kapan aku ketemu Mama, Kak?” tanya Namira dengan ketus. Sedari masih gadis, ia sudah memimpikan untuk memiliki hubungan yang baik dengan mertuanya kelak. Impian sederhana yang menjadi harapan semua menantu, mungkin di seluruh dunia. “Aku pingin belajar masak menu Mandar dari mertua.”
Arman menatap wajah cemberut istrinya. Tangannya mengusap pucuk kepala Namira. Ia mendekatkan wajah, kemudian menghujani kekasih hatinya dengan kecupan pada kening.
“Jujur, ada satu hal dari Nami yang membuat rasa cintaku semakin besar. Mau tahu?” Arman mengalihkan pembicaraan.
“Tempe.”
Namira mencebik kesal. Kepalanya sedikit menoleh dengan mata melirik ke samping menghindari tatapan menggoda Arman.
Arman terbahak mendapati ekspresi kesal sang istri. Ia pun melanjutkan ucapannya.
“Tangan yang sedikit kasar ini.” Arman mengusap lembut telapak tangan Namira, lalu menempelkan pada pipinya sendiri.
Namira sontak menepuk wajah Arman. “Dosa ngehina fisik istri sendiri.”
Arman kembali meraih tangan Namira. Ia menatap istrinya lekat hingga membuat wanita itu mengulum senyum. Pancaran mata laki-laki berambut lurus itu seolah mengandung penawar untuk hati yang sedang kesal.
“Terima kasih karena tangan ini gemar menyajikan masakan yang lezat. Bayangkan kalau istrinya males masak. Bangkrut dompetku.”
Namira terkekeh mendengar pujian bernada rayuan dari suaminya. Tangannya menyentuh bibir yang tidak pernah berkenalan dengan gulungan tembakau kering itu.
“Terima kasih untuk bibir yang selalu menghabiskan masakan-masakanku.”
Pasangan suami istri berbeda usia itu tergelak bersama. Namira mulai melupakan rasa jengkel karena impian Arman yang baginya terlalu mengada-ada.
“Kakak nggak rindu masakan Mandar?” tanya Namira penasaran karena Arman terakhir kali pulang ke Polewali setelah wisuda sarjana sekitar tiga tahun yang lalu. Bukan waktu yang sebentar.
Arman menggeleng cepat. Hal itu membuat Namira menautkan kedua alis.
“Yang bener saja. Masa nggak kangen Coto?”