Bau Peapi

Reni Hujan
Chapter #4

Buras Bukan Lontong

Arman melirik Namira yang tengah termangu menatap layar ponsel. Ia lantas mendekat ke arah sang istri.

“Baca apa, Mi? Kok, kaget gitu?”

Namira terkesiap, tangannya bergegas mendekap ponsel agar Arman tidak membaca pesan Karina. Ia lalu menggelengkan kepala pelan. Dirinya tidak mau memperkeruh suasana jika Arman mengetahui ancaman dari sepupunya itu. Apalagi suaminya pernah bercerita bahwa Karina kerap sekali menganggap laki-laki itu sebagai saingan.

“Lihat, dong.”

“Bukan apa-apa, Kak.” Namira mematikan ponselnya karena Arman mendesak untuk melihat. Ia kemudian mengalihkan rasa ingin tahu Arman. “Jalan-jalan, yuk, Kak. Udah satu minggu tinggal di Malang belum kulineran juga.”

“Mau ke mana?”

“Jalan saja dulu. Sambil lihat-lihat.” Namira menangkupkan kedua tangan dengan wajah memelas.

“Nggak mau, harus tentukan dulu tujuan.” 

“Em, gimana kalau makan Tahu Campur Pak Kumis di Dinoyo?”

Arman meraih tangan kanan Namira, lalu menjabatnya. “Sepakat.”

“Idih, kaya lagi bikin perjanjian saja.”

Arman mengedipkan mata sebelah kanan. Ia tidak mau jalan tanpa tujuan. Seringnya, saat Namira meminta pergi makan di luar, tidak ada lokasi pasti yang dituju. Pernah, hampir setengah jam berkeliling dengan motor, akhirnya balik lagi hanya untuk makan di warung dekat rumah.

Pasangan pengantin baru itu pun mulai bersiap. Arman segera menyalakan motor yang dibelinya selepas menikah. Bukan kondisi baru, tetapi masih layak. Dirinya ingin mulai mengajarkan keluarga kecilnya hidup sederhana dan berkecukupan.

Motor mulai keluar dari gang tempat Arman dan Namira tinggal menuju Jalan Terusan Ijen. Saat hampir sampai di perempatan, Namira meminta sang suami berbelok ke arah Jalan Kawi Atas.

“Katanya mau ke Dinoyo?”

“Iya. Panjangin dikit jalannya,” ujar Namira sembari terkekeh.

Arman memutar kemudi menuruti permintaan Namira. Setelah melewati Jalan Kawi Atas, mereka berbelok ke Jalan Galunggung. Lampu merah menyambut lagi di perempatan arah ke Tidar. Motor pun berhenti. Namira mengedarkan pandang. Matanya mengerjap saat melihat kedai Coto Makassar yang cukup terkenal di Kota Malang.

“Kak, putar balik. Makan coto saja.”

Arman berdecak kesal. Kebiasaan Namira yang kerap meminta mengubah haluan di tengah jalan belum juga hilang. 

“Baik, Nyonya. Putar baliknya di depan aja.” Arman melihat sekitar. Motornya diapit oleh dua mobil. Tentu tidak bisa jika langsung menyeberang ke kedai yang ada di kiri jalan.

Lihat selengkapnya