Hari begitu cepat berlalu. Usia perikahan Namira sudah hampir menyentuh angka satu tahun. Selama itu pula impiannya belum bisa diwujudkan. Selayaknya orang yang merantau, pasti akan merasakan suasana mudik saat Bulan Ramadhan. Namira ingin sekali menikmati suasana lebaran di kampung halaman Arman. Namun, sekali lagi masalahnya masih tetap sama. Laki-laki itu masih bersikeras untuk tidak menginjakkan kaki di tanah kelahirannya sendiri. Namira sudah kehabisan ide untuk membujuk sang suami.
“Aku malas pulang ke Batu, Kak,” keluh Namira yang duduk sedang bersandar di bahu Arman.
“Kenapa?”
“Setiap ketemu saudara, yang ditanya selalu saja sudah ke rumah mertua? Nggak ada pertanyaan lain apa, ya?”
Arman tersenyum dengan mata tetap fokus pada laptop yang dinyalakannya sejak selesai salat Subuh tadi. Menjelang akhir semester, kesibukannya adalah membuat soal ujian.
“Kakak nggak ngalami, sih. Apalagi mulut Wina makin pedes saja. Nyebelin!”
Namira meningat kembali ucapan sepupunya. Wina beranggapan bahwa Namira tidak layak dipanggil menantu karena berlum pernah bertemu sama sekali dengan mertua.
“Watak dia memang kaya gitu, kan? Nggak perlu diambil hati. Senyumin saja,”ujar Arman enteng.
Darah Namira mulai mendidih. Ia kesal dengan Arman yang tidak juga memahami perasaannya jika menyangkut masalah mertua. Terkadang, ia iri pada istri kakaknya. Kakak ipar satu-satunya begitu disayang oleh orangtua Namira, terutama sang ibu. Tentu saja sebagai menantu, ia ingin merasakan hal seperti itu. Bukan dekat di telepon saja.
“Laki-laki emang nggak peka!”
Namira beranjak dari duduknya. Ia melangkah keluar. Wanita yang sempat mengabdi sebagai guru honorer di salah satu SD Negeri di Kota Batu ini meraih kerudung di belakang pintu.
“Mau ke mana, Mi?”
“Belanja!” jawab Namira ketus sambil berlalu.
“Masakin ikan, ya.”
Namira mendengkus kesal. Arman memang tidak mudah goyah dalam pendiriannya. Ia terus mengumpat dalam hati sembari berjalan menuju mobil sayur yang berhenti depan gang.
“Pagi-pagi udah ditekuk saja wajahnya, Mbak,” celetuk penjual sayur.
Namira hanya tersenyum canggung. “Lagi pingin masak yang asem seger, Pak. Enaknya masak apa, ya?”
Bapak penjual sayur menjentikkan jemarinya. Ia lalu mengambil kotak dari styrofoam.
“Saya punya bahannya. Istimewa masih segar.”
“Ikan Tongkol?” tanya Namira saat menatap ikan seukuran telapak tangan yang diperlihatkan si bapak.