Hari yang dinantikan pun tiba. Jadwal penerbangan yang dipilih Namira adalah pukul 08.55 Wib. Sejak sebelum subuh, ia dan Arman sudah bersiap. Mereka tinggal menunggu kakak Namira yang akan mengantar ke bandara pukul lima pagi.
“Aduh, perutku mulas, Kak,” ujar Namira seraya bergegas ke kamar mandi.
Arman hanya bisa menggelengkan kepala melihat keluhan sang istri. Terhitung sudah ketiga kalinya ini Namira bolak balik ke kamar mandi karena sakit perut.
“Makan apa, sih, Mi?”
“Nggak makan aneh-aneh, Kak. Kayanya ini mulas karena gugup mau naik pesawat pertama kali, deh.”
Namira menertawakan dirinya sendiri. Dilema sempat menyapanya. Hanya ada dua transportasi untuk bisa sampai di Sulawesi. Lewat jalur udara atau laut. Menggunakan kapal membutuhkan waktu lama, sekitar tiga hari dua malam untuk mengarungi lautan luas. Namira lebih memilih naik kapal laut karena jika ada masalah, setidaknya masih bisa berenang. Namun, Arman bersikukuh memilih jalur udara, karena cepat dan selisih harga tidak berbeda jauh dari kapal laut.
“Nggak usah mikir aneh-aneh. Berdoa supaya selamat sampai tujuan.”
Namira mengangguk menanggapai nasihat Arman. Ia semalam memang kembali gelisah. Rentetan berita kecelakaan pesawat di Indonesia mulai bermunculan di benaknya. Rasa takut seolah masih menguasainya.
Tidak lama kemudian, jemputan untuk menuju bandara datang. Mereka menggunakan fasilitas tol demi mempersingkat jarak. Namira menatap hamparan sawah dan perbukitan di sepanjang jalan. Ia mulai bisa berpikir santai. Rasa sakit pada perutnya pun sudah lenyap.
Pukul 06.50 Wib, mobil sudah memasuki area Bandara Internasional Juanda yang terletak di Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo. Arman dan Namira diturunkan di titik keberangkatan.
“Akhirnya aku menginjakkan kaki di Juanda juga,” ucap Namira dengan wajah semringah. Ia melirik arloji di tangan sebelah kiri. Waktu masih panjang untuk take off. Masih ada dua jam lagi.
“Ditunggu di dalam saja. Siapa tahu udah bisa check in,” ajak Arman yang terus berjalan menuju tempat pengecekan.
Namira mengikuti sang suami. Ia mengedarkan pandang pada setiap pemandangan yang ditemuinya. Di bagian luar keberangkatan, ada beberapa toko yang menjual oleh-oleh khas Surabaya. Mereka kemudian melewati pemeriksaan tiket saat menuju lokasi check in.
“Biasanya dua jam sebelum keberangkatan udah dibuka layanan check in. Kok, ini nggak ada tujuan kita?” Arman mengedarkan pandang seraya membaca papan info. Ia mulai curiga karena antrian tidak ada yang sesuai dengan maskapai dan juga tujuan keberangkatannya. Ia lalu bertanya pada satpam untuk memastikan. Laki-laki berseragam putih itu pun mengarahkan ke loket paling ujung.
“Maaf, Bapak. Untuk tujuan Surabaya-Makassar sudah berangkat pukul 06.50 tadi,” jelas petugas bandara.
Namira dan Arman tercengang. Mereka kembali memeriksa tiket dengan saksama.
“Tapi di tiket jam berangkat baru pukul 08.55, Mbak. “ Arman masih bertahan dengan pedapatnya.
“Jamnya dimajukan, Bapak. Pihak maskapai biasanya sudah mengabari lewat SMS untuk perubahan jadwal.”
Namira terkesiap. Ia segera mengecek ponselnya. Kotak pesan masuk memang jarang dibuka. Tubuhnya langsung lunglai mendapati adanya pesan pemberitahuan dari maskapai.
“Iya, ada SMS, Kak.”