Degup jantung Namira belum kembali normal. Ia masih terngiang oleh suara benturan cukup keras pada mobil yang ditumpanginya. Terlihat juga dari badan kendaraan roda empat tersebut bagian depan yang penyok. Beruntung tabrakan tadi tidak menimbulkan korban luka dari kedua belah pihak. Perjalanan kembali dilakukan untuk menjemput tiga penumpang lain setelah negosiasi antar sopir.
“Dipakai tidur saja, Mi,” saran Arman seraya menggenggam erat tangan istrinya. Ia juga bisa merasakan badan Namira yang gemetar.
Namira berusaha memejamkan matanya. Namun, pikiran aneh-aneh malah bermunculan. Ia akhirnya menikmati jalanan kota Makassar yang ramai saat mobil meluncur ke area Universitas Hasanudin.
Tiga penumpang baru sudah naik ke mobil. Sopir pun mulai melajukan kendaraan. Saat memasuki wilayah Maros, mobil Avanza hitam itu berbelok ke halaman toko yang menjual makanan dan minuman.
“Roti Maros?” Namira menautkan kedua alis saat membaca papan nama toko tersebut.
“Maros terkenal sama rotinya,” ujar Arman memberi tahu.
Namira dan penumpang lain hanya menunggu di mobil. Tidak lama kemudian, datang mobil yang parkir di sebelah mereka. Ternyata, pengemudinya adalah teman sopir travel yang mereka tumpangi. Namira mengamati dari jauh. Dua laki-laki itu seperti sedang membicarakan tentang badan mobil yang penyok.
Tiga puluh menit berlalu. Penumpang sudah mulai bosan. Satu per satu mahasiswi turun ke toko. Mereka membeli minuman, lalu meneguknya sambil bersantai di bangku yang disediakan di sana. Melihat pemandangan tersebut, Namira merasakan tenggorokannya kering.
“Kak, ayo beli minuman.”
Namira menoleh ke arah Arman yang tidak meresponnya. Ia mendengkus kesal. Laki-laki itu tengah tertidur pulas. Sangat sulit jika membangunkan sang suami yang tidur dalam kondisi kecapekan. Namira akhirnya memutuskan untuk turun sendiri.
Udara di Maros cukup panas. Tentu saja berbeda jauh dengan Malang. Namira membuka chiller yang berisi minuman kaleng dan botol. Ia mengambil satu botol air jeruk yang terkenal dengan bulir di dalamnya. Ia lalu ikut duduk di bangku panjang bersama para mahasiswi. Namira memberi senyuman sebagai sapaan. Namun, tidak ada yang mengawali obrolan. Mereka memilih menikmati minuman masing –masing.
Namira mengedarkan pandang ke arah toko. Tatapannya jatuh pada alat penanak nasi yang cukup besar berwarna abu-abu. Ia penasaran dengan fungsi benda tersebut di toko roti ini. Jika di Jawa, tentu ia akan menjumpainya di warung makan. Namira terus mengamati aktivitas di sana.
“Bikin penasaran,” gumam Namira seraya beranjak dari duduknya. Ia memutuskan untuk membeli roti yang menjadi ikon Kabupaten Maros tersebut.
“Mbak ... eh, Kak, Roti Maros satu, ya,” ucap Namira pada penjual. Ia sempat salah sebut, lupa kalau tidak sedang berada di Jawa. Perempuan di hadapannya sempat bingung saat kata 'mbak' terucap.