Karina berjalan mendekat ke arah Namira. Kecepatan napasnya mulai meningkat. Begitu juga dengan area pupil yang melebar. Perempuan berkulit bersih itu mengepalkan tangannya kuat.
“Rin, sudah Karina. Kamu balik saja ke kamar,” cegah Bu Hamidah yang menghadang langkah keponakannya. Ia paham sifat Karina. Ibu Arman itu memegang lengan sebelah kiri perempuan dengan piama berwarna marun tersebut.
“Tante jangan belain perempuan ini terus. Gara-gara dia keluarga kita mendapat kecaman dari pihak Yasmina!” pekik Karina seraya melepaskan cengkeraman tangan Bu Hamidah dengan kasar.
Namira terkesiap. Tangannya mulai terasa dingin. Amarah Karina terlihat jelas dari wajahnya yang merah padam juga tatapan mata yang menusuk.
“Perempuan gatal! Apa gak ada laki-laki Jawa yang menarik perhatianmu, hah? Kenapa harus adikku yang kamu pengaruhi!”
Plak!
Tamparan cukup keras mendarat di pipi mulus Karina. Ia menatap Bu Hamidah dengan mata berembun. Tangannya memegang bekas pukulan dari telapak tangan perempuan di hadapannya. “Tan-tante sadar melakukan ini?”
“Naik kamu ke kamar. Cepat, naik Karina!”
Emosi Bu Hamidah sudah sampai di ubun-ubun. Ia sudah hilang kesabaran dengan kelakuan Karina. Pola asuh yang salah dari Pak Hamma’, menjadikan perempuan yang masih lajang itu bersikap semena-mena terhadap orang lain. Kerap dimanjakan sejak kecil, berakibat pada keinginan yang harus dituruti. Kebiasaan tidak baik tersebut terbawa sampai usianya yang sudah dewasa.
“Aku janji bakal buat kalian merasakan rasa sakit ini!”
Karina mengembuskan napas kasar. Tatapannya ke arah Namira penuh dengan kebencian. Ia berlari menuju kamarnya dengan beruarai air mata. Dirinya semakin membenci istri Arman itu.
Di dapur, Namira terus mengusap punggung Bu Hamidah. Mertuanya itu pun menyunggingkan seutas senyuman. Beruntung Arman sedang tertidur pulas di kamar. Begitu pula dengan Pak Hamma’ yang sedang pergi ke kebun. Namira mulai kepikiran dengan ucapan terakhir saudara iparnya itu. Rasa sakit seperti apa yang tengah dirasakan perempuan yang berprofesi sebagai pegawai bank itu.
“Jangan didengarkan ucapan Karina. Anggap saja itu omongan orang sedang kerasukan setan. Memang mirip kaya kesurupan.”
Namira mengangguk sambil tersenyum. Ada rasa sakit menghujam ulu hati mendengar umpatan Karina. Namun, ia sadar dengan posisinya. Karina tentu sedang membela ayahnya yang menentang pernikahannya dengan Arman.
“Masih mau lanjut masaknya?”
“Masih, dong, Ma,” jawab Namira seraya memeluk Bu Hamidah.
Bu Hamidah meletakkan potongan ikan pada wajan yang berukuran sedang. Ia kemudian mengambil bumbu yang telah di tumbuk tadi. Perempuan yang juga pandai menjahit itu meletakkannya di atas potongan ikan. Selanjutnya, Bu Hamidah menambahkan satu sendok teh kunyit bubuk, tiga sendok makan Minna, tiga batang Lasuna dan Pamaissang yang sudah direndam tadi. Ia mencampur semua bahan jadi satu menggunakan tangan kosong.
“Harus diremas lembut gini, Nak. Suka pakai micin?”