Selepas salat Zuhur, Arman mengajak Namira jalan-jalan di sekitar rumah. Ia tidak mau istrinya sampai tertekan karena sikap Pak Hamma' dan Karina. Sepupunya itu memang lebih suka berada di lantai atas. Ia hanya turun saat ke kamar mandi dan mengambil makanan di meja saja. Namun, jika sekali turun seperti tadi pagi, tetap saja membuat hati memanas.
Namira baru sadar jika letak Desa Petoosang itu di atas bukit. Perjalanan semalam tentu tidak bisa leluasa memandang sekitar. Ia sudah membayangkan kalau kampung halaman suaminya itu dekat pantai. Cerita yang sering di dengar juga dibacanya di Google, lokasi Sulawesi Barat itu dekat dengan lautan.
“Ini di atas gunung kenapa tetap gerah, ya?” Namira meletakkan telapak tangan kanan di depan dahi. Matahari saat siang panasnya begitu menyengat. Ia membandingkan dengan Batu yang suhunya selalu dingin.
"Mungkin karena dekat garis khatulistiwa. Gak tau juga, deh. Sini." Arman merangkul Namira. Ia menurunkan tangan istrinya yang masih menempel di kening lalu mengganti dengan tangannya.
“Ish, malu, Kak." Namira menghindar dari rengkuhan sang suami. Arman menertawakan sikap istrinya yang terlihat tersipu.
Namira mengedarkan pandangan. Rumah yang ada di sini beberapa sudah berkonsep moderen, menggunakan batu bata untuk pondasi bangunannya. Bukan rumah panggung lagi di mana bagian bawah tidak berfungsi sebagai hunian. Ada juga yang memadu padankan antara lantai atas dan bawah. Di bagian lantai dua tetap menggunakan kayu. Sama seperti rumah Pak Hmma’. Lantai bawah sudah menggunakan ubin.
Namira dan Arman akhirnya tiba di rumah adik Pak Hamma’ yang lain. Kurang lebih seratus meter jaraknya. Mereka disambut dengan ramah oleh Ardi.
“Berapa panai’nya?” tanya Arman ingin tahu tentang jumlah uang pesta yang diminta pihak calon pegantin perempuan untuk pernikahan yang akan dilangsungkan dua hari lagi itu.
“Tiga puluh juta, Kak.”
Namira tercengang dengan nominal yang disebutkan. Ia sebenarnya penasaran dengan tradisi tersebut.
“Banyak juga, Kak. Pantesan kamu cari orang Jawa,” ujar Namira berkelakar. Arman dan Ardi pun terbahak.
Ardi pun menjelaskan tentang perjuangannya untuk bisa menikah. Begitu ia jatuh cinta pada calon istrinya, keputusan untuk menabung segera digalakkan. Beruntung, kekasihnya itu juga berinisisatif untuk membantu mengumpulkan dana panai’ tersebut. Setelah menjalin kasih selama empat tahun, mereka baru berani memutuskan untuk menikah.
Namira berdecak kagum dengan usaha yang ditempuh demi bisa menyempurnakan separuh agama.
“Ternyata untuk menikah di sini gak semudah itu, ya. Butuh modal besar.”
Arman lalu menambahkan cerita tentang sepupu dua kalinya yang jadi perawan tua karena keluarganya terlalu menutut untuk masalah panai’. Tradisi itu juga menjadi gengsi sosial demi menjaga martabat keluarga. Semakin tinggi uang panai’ yang diterima, tinggi pula status sosial keluarga perempuan tersebut di mata masyarakat.
"Penentuan uang panai’ juga tidak sembarangan. Besarnya nominal uang biasanya dilihat dari status sosial keluarga perempuan. Jika memiliki darah bangsawan, tentu akan tinggi nilainya. Begitu juga dengan tingkat pendididkan. Gelar dan profesi yang mengikuti akan menentukan juga," jelas Ardi.
Namira manggut-manggut. Ia akhirnya paham dengan maksud dari panai’. Sebelumnya ia mengira mahar sama dengan panai’. Ternyata tidak bisa disamakan. Mahar adalah kewajiban suami utuk diberikan pada istri saat akad nikah. Sedangkan panai’ uang untuk menggelar pesta di tempat pengantin perempuan. Diberikan beberapa hari sebelum tanggal pelaksanaan.
“Dila! Mana minumnya?” teriak Ardi memanggil adiknya.