Berkunjung ke rumah Ardi dan Dila membuat suasana hati Namira perlahan membaik. Ia mulai bisa menikmati liburan pulang kampungnya. Sambutan manis dari keluarga adik mertuanya itu semakin menambah keyakinan tentang restu yang akan didapatnya dari Pak Hamma’ dan juga menepis ketakutan akan ancaman untuk pernikahannya. Namira sudah diterima dengan baik oleh keluarga Arman terkecuali pamannya dan putri semata wayangnya itu tentunya.
“Kak, besok main ke Pantai Dato, yuk?”
Mendengar kata pantai, senyum Namira seketika mengembang. Ia lalu menyenggol lengan Arman yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum manis.
“Jauh gak, Dil?” tanya Namira.
“Enggak, deket banget. Gak sampai satu jam, kira-kira empat puluh menit.”
“Serius?” Namira tidak percaya dengan sedikitnya waktu yang ditempuh untuk sampai di pantai dari Petoosang.
“Jangan samakan dengan di Malang, Mi.”
Namira tersenyum seraya memperlihatkan deretan gigi yang rapi. Di Malang, untuk bisa bertemu pantai harus menempuh perjalanan selama dua jam lebih karena jarak yang harus ditempuh adalah tujuh puluh kilometer dari pusat kota tempatnya tinggal. Pantai-pantai itu pun bukan berada di wilayah administrasi Kota Malang tetapi masuk ke Kabupaten Malang bagian pesisir selatan.
Azan Ashar pun berkumandang. Arman dan Namira segera undur diri. Mereka pun kembali ke rumah. Di rumah Ardi tadi, mereka disuguhi makan siang. Namira sempat menolak karena sungkan. Apalagi saat menyadari kedatangannya memang bertepatan dengan jam makan. Namun, sekali lagi sikap ramah tante Arman membuatnya tidak enak hati menolak. Terlebih saat melihat menu yang dihidangkan kembali membuatnya ngiler.
***
Namira memainkan ponsel sembari berbaring di kamar. Ia malas untuk bersantai di kursi depan televisi. Sebisa mungkin dirinya ingin menghindari Karina. Namun, akan terasa sulit jika saat jam makan atau sedang ingin menggunakan kamar mandi.
Perut yang masih kenyang, membuat rasa kantuk datang. Namira pun tertidur pulas. Ia sampai tidak menyadari kepulangan sang suami dari salat berjamaah di masjid.
“Sayang, bangun. Udah mau maghrib, nih.”
Namira menggeliat. Matanya masih terpejam. “Jam berapa sekarang?”
“Jam lima.”
Namira langsung bangun dari tidurnya. Ia segera mengambil kerudung dan langsung memakainya.
“Kenapa, Mi? Mau ke mana?”
“Ke dapur. Mama udah masak makan malam belum?”
Arman mengangkat bahu. Ia geleng-geleng melihat tingkah istrinya. Wajah Namira masih bau bantal. Laki-laki itu tersenyum. Ada haru yang menyelinap. Ia bersyukur istrinya bisa mudah akrab dengan sang ibu. Begitu pun sebaliknya.
***
Bu Hamidah tengah berjongkok di tempat cuci piring saat Namira sampai di dapur. Sebelum berada di sana, istri Arman itu melirik ke arah tangga. Berharap tidak bertemu dengan Karina.
“Mau masak apa, Ma?” tanya Namira sembari berjongkok di dekat Bu Hamidah.
“Bau Tuing-Tuing bakar.”