“A’ba ....”
Arman menyapa Pak Hamma’ yang tengah membuka pintu pagar. Ia memang sengaja menunggu di teras sepulang dari salat Subuh berjamaah. Tidak mungkin dirinya akan membiarkan sang paman tidak berbicara sepatah kata pun sejak kedatangannya di Petoosang.
Pak Hamma’ terus berjalan meuju rumah. Ia tidak menoleh sedikit pun ke arah Arman.
“Maafkan saya ....”
Ucapan Arman menghentikan langkah kaki sang paman. Laki-laki yang mengenakan baju koko dan sarung itu berbalik, lalu duduk di kursi.
“Keputusanku untuk memasukkanmu di pesantren selama enam tahun itu bukan tanpa harapan. Begitu juga saat membiayai kuliah di Jawa,” ungkap Pak Hamma’ dengan tatapan lurus ke jalan.
Arman menghela napas panjang. “Saya akan terus berusaha untuk segera sukses di karir.’
“Mau sukses jadi apa di Jawa? Kamu masih guru tidak tetap di sekolah swasta, kan? Lihat Ardi, dia baru tiga tahun ngajar sudah diangkat jadi PNS.”
Arman menundukkan kepala. Ia sudah menduga jikan pamannya akan membahas masalah status pekerjaan. Memang, Pak Hamma’ berperan penting dalam membiayai pendidikannya hingga sarjana. Namun, dalam lubuk hati, ia tidak pernah terbesit untuk menjadi guru berstatus PNS. Ia lebih memilih mengabdi di lembaga pendidikan yang dinaungi persyarikatan.
Pak Hamma’ beranjak dari duduknya. Suasana terasa canggung. Laki-laki itu berlalu ke dalam rumah meninggalkan Arman yang sedang merenung.
Tidak lama kemudian, muncul Namira dengan satu gelas teh panas di tangan.
“Dibuatin Mama, nih.”
Arman tersenyum simpul, menatap istrinya sekilas.
“Kakak kenapa? Dimarahin A’ba?’ tanya Namira yang tadi sempat mengintip sang suami dari balik jendela.
Arman menggeleng pelan. Ia lalu mengambil gelas yang ada di meja, lalu menyesapnya.
“Terus kenapa kaya sedih campur bingung gitu.”
“Aku gak yakin alasan A’ba gak merestui pernikahan kita karena perjodohan itu.”
“Maksudnya?” tanya Namira tidak paham. “Terus karena apa?”
Arman mengngkat bahu. Perbincangan yang ia mulai tadi dengan pamannya, dimaksudkan untuk meminta maaf karena tidak bisa menuruti keinginan Pak Hamma’ tentang perjodohan dengan anak salah satu temannya. Namun, Arman seperti tidak menemukan gurat kecewa sang paman perihal masalah tersebut.