Rumah dua lantai bercat kuning-krem. Tidak salah lagi. Menurut petunjuk Pram, kosan tempatnya tinggal itu memiliki ciri khas. Salah satunya adalah patung kadal raksasa yang hinggap di tembok balkon. Sasha tidak tahu apa fungsinya, ia sama sekali tak tertarik.
Ketika hendak mengaktifkan ponsel untuk menghubungi Pram, niatnya segera diurung. Terlihat jelas pintu yang tertutup rapat, pasti dikunci. Mau tak mau ia harus mengeluarkan handphone namun masih enggan menyalakan. Arah pandangnya berganti ke cakrawala yang mulai menggelap, menimbang-nimbang apakah telepon genggamnya lebih baik diaktifkan atau tidak.
Derum mesin menginterupsi, Sasha sontak menoleh. Sebuah sepeda motor menepi, pengendaranya menaikkan kaca helm. “Ada yang bisa dibantu?”
Sasha mendaki langkah mundur seraya menunduk sopan, “Maaf, saya sedang mencari teman saya, namanya Pram.”
“Pram? Dia biasanya belum pulang jam segini,” sahut si wanita ringan. “Mau kuantar ke kamarnya? Ah, ya, kau siapa?”
“Aku temannya.” jawab Sasha pendek.
Si wanita mengangkat kedua alis dan melepas helm. Ia segera merapihkan moncong kerudung dan helai-helai rambut yang keluar. Helmnya digantung di stang kiri motor, kemudian ia turun untuk membuka pagar. “Kamarku sebelahan dengan Pram, aku sangat kenal dia. Pram tidak cerita akan ada yang datang hari ini. Atau mungkin dia belum cerita.”
“Saya teman SMA-nya, kalau begitu tak apa saya bisa tunggu Pram di sini.” jawabnya lugas.
Si wanita tersenyum, “Kau terlihat lelah. Masuklah, ini sudah maghrib, sebentar lagi mungkin dia pulang.”
Usai menghaturkan kasih, Sasha mengikuti si wanita masuk ke dalam. Memang salahnya tidak menghubungi Pram. Akhirnya ia harus dibantu orang lain lagi.
Ruang tamu kosan itu tidak megah. Hanya ada satu lampu neon yang menerangi satu ruangan. Begitu sepi ditambah deret pintu kamar yang masing-masing tertutup rapat. Sasha menduga para penghuni kosan terlalu sibuk mengiktui kegiatan kampus sampai-sampai sudah hampir malam pun belum juga pulang.
Wanita pemandu menyakukan ponsel seraya berkata, “Aku sudah bilang pada Pram kalau kamu datang. Ah, namaku Intan, kamu?”
Mereka menaiki tangga, tubuhnya sedikit bergetar kala pertama memijak kaki di anak tangga. “Sasha. Terima kasih… Mbak Intan.”
“Aku seumuran denganmu, kalau kau memang teman SMA-nya Pram.” tambah si wanita terkekeh.
Terdapat dua deret kamar di kedua sisi lorong. Intan menuntunnya menuju kamar terujung. Angin dingin sekilas menyergap, Sasha sontak celingukan mencari arah datangnya. Ia menepis firasat buruk dan coba menikmati suasana. Pram sama sekali tidak pernah cerita kalau ada keajaiban maupun keanehan di kos-kosannya.
Sasha berharap ia akan baik-baik saja, setidaknya sampai Pram datang.