Itu adalah malam yang berbeda ketika ia terjaga. Menghirup udara segar yang mampir dari lubang ventilasi, hinggap untuk sekadar menyejukkan pikiran. Jarum pendek jam menunjuk di angka tiga, waktu yang tepat untuk membersihkan diri dan bersimpuh sujud sebagai bentuk penghambaan.
Pram pasti akan mengizinkan meski ia tidak minta. Mandi besar dilakukannya semata untuk mengakhiri masa jeda satu kali setiap bulan. Setelahnya ia mengeringkan kepala, mematut diri sebentar pada cermin di samping lemari, lalu mengeluarkan mukena dari dalam tas besar. Pada sepertiga malam terakhir ia bersujud, untuk mengadu dan meminta, yang banyak, agar ia tetap dan akan selalu dicinta.
Takdir punya cara sendiri dalam memilah dan menyeleksi. Yang kuat maju ke puncak berikutnya, yang lemah dipaksa kuat dan wajib bertahan. Sasha sendiri sedang dalam proses, bertahan agar lolos dari terpa uji hidup yang rutin menghampiri setiap orang di buana.
Orientasinya tak lagi dunia, tapi ia juga masih belum menggenggam keinginannya. Atau mungkin, ia takkan mendapatkan dan harus menerima yang lain. Apa pun itu, kini waktunya berserah dan bersedia menerima segala.
"Kau sudah sholat," sahut sebuah suara.
Sasha mengangat kedua alis, "Sekarang sedang mengobrol berdua."
"Apa aku mengganggu?" Pram mengucek mata dan turun dari ranjang, "maaf kalau begitu."
Kekehan terlantun, pandangnya mengikuti langkah Pram menuju kamar mandi, kemudian berbalik menatap sajadah lagi.
Lalu lanjut mencurahkan isi hatinya.
.
Pagi itu Sasha dan Pram jogging pagi di sekitaran kosan. Yang lebih dulu tinggal di Jogja menceritakan aksi sosial dan hiruk-pikuk kota yang tidak sepadat Jakarta, mengenalkan ragam kuliner khas yang patut dicoba ketika berkelana di Yogyakarta—Pram berjanji akan menemani sebelum kernyitan tercetak jelas di kening. Tangannya lantas menggali saku celana dan mengeluarkan sebuah ponsel, "Kalau hapeku sampai bergetar, itu artinya—" dilanjut dengan gelengan kepala sambil merutuk, "ah, tidak lagi...."
Sasha mengintip layar ponsel lengkap dengan kedua alis terangkat, "Apa?"
"Biasa, aktivis." Pram mengangkat bahu, ia lalu memicingkan mata sebentar. "Bagaimana aku bilangnya, ya."
Sasha mengangguk cepat, "Aku mengerti, aktivis."
Pram tertawa garing, "Hari liburku."
"Aktivis tidak punya hari libur," sahut Sasha mengekeh.
"Kau sangat mengerti itu, Sha. Kita partner dulu, hahaha." ponsel disakukan kembali, Pram kini menatap lurus. "Jadi, kau mau pulang?"
Sasha menggeleng, "Aku mau lanjut lari pagi. Sekalian beradaptasi, mengenali lingkungan, melihat-lihat souvenir di pasar," Sasha balik menatap Pram, "ini akan menyenangkan. Tenang saja, aku tidak akan menyasar. Kalau itu terjadi... aku akan tanya orang-orang di sekitar."
Pram mengulas senyum, lega mengisi relung dada. "Sekalian mampir ke counter buat beli kartu perdana baru. Handphone-mu harus aktif."
"Itu bisa dilacak."
"Jangan terlalu banyak nonton film," sahut Pram seraya berbalik, "dadah, hati-hati."
Sasha tertawa dan melambaikan tangan. Sosok Pram menghilang di balik kerumunan pejalan kaki. Ia juga sama, bertolak dan lanjut menarik langkah. Menikmati semilir udara pagi disertai sinar mentari yang merambat masuk ke pori-pori. Jogja punya banyak waktu dan tempat menyenangkan untuk dipakai menyegarkan hati, dibanding Jakarta yang hanya buka di hari minggu untuk gerakan car free day serentak.
Ia melambatkan lari ketika melintasi sederet penjaja dagang di bahu jalan. Masing-masing pedagang lantang menyuarakan barang jualan. Hampir semua orang memanggilnya untuk mampir dan menawarkan harga murah. Sasha sudah tergiur sejak awal, dan keabsenan Pram berhasil mencuri atensinya untuk singgah di sebuah wadah berisi souvenir khas Yogyakarta.