Bawa Aku Pergi

siucchi
Chapter #5

[ 5. Once You Choose This Side ]

Hari keempat, Sasha berhenti di depan toko kue, mendongak ke sebuah tulisan bercetak tebal yang menempel di dinding kaca. Sebuah map cokelat dirangkul ke dada, oksigen dihirup banyak-banyak, hati dimantapkan. Setiap kali ia ingin mendorong pintu, tangannya tiba-tiba memberat. Bahkan untuk masuk bersamaan dengan pengunjung lain saja ia enggan.

Sasha sekali lagi mengembuskan napas. Menepuk tangan dua kali, lalu berbisik pada diri sendiri. "Bisa, bisa! Kamu bisa, Sha!"

Lonceng berbunyi begitu pintu terbuka, Sasha sontak sigap dan mengerjap. Pengunjung toko kue baru saja selesai menuntaskan hajat dan pergi meninggalkan lokasi. Langkahnya didaki dan tangan diangkat menyentuh gagang pintu, lalu dibatal lagi.

Ia mendecak, harus sampai kapan berlagak pengecut. Sasha tahu dirinya harus segera mendapat pekerjaan agar punya uang dan bisa lanjut mencari peluang.

Setelah cukup lama berkutat dengan ego, ia mendorong pintu kaca pelan-pelan. Mengintip ke meja kasir dan menyungging senyum tipis. Wanita penjaga kasir mengangkat kedua alis, "Ada yang bisa dibantu?"

"Ah," Sasha mengambil langkah lebih dekat, menghapus canggung, kemudian memamerkan map cokelat di tangan, "saya lihat toko ini buka lowongan kerja, saya bermaksud—“

"Oh, mau lamar ya, tunggu sebentar." sahut si wanita cepat dan berlalu dari hadapan. Sasha menghela napas, sesak mulai mereda.

Kini pandangnya memutar ke seluruh penjuru ruang. Mencermati berbagai kue yang dipajang baik dalam rak maupun kulkas. Aroma manis yang memikat mampir menggoda rongga pengendus makanan. Bekerja di toko kue bukan ide buruk, ia bisa icip-icip di belakang.

Sampai seorang wanita paruh baya keluar dari ruang di belakang meja kasir, menawarkan senyum teduh dan berkata, "Mbak yang mau lamar, ya? Sini, yuk, masuk dulu."

Sasha lantas tersenyum canggung, "Y-ya, baik."

Wanita penjaga kasir menuntunnya masuk ke ruangan, ia dipersilakan duduk oleh wanita paruh baya—Sasha mengira dia pemilik toko.

Wawancara itu berlangsung intensif. Sasha menyodorkan CV dan menjawab berbagai pertanyaan. Yang bersifat pribadi sebisa mungkin ia jawab, meski terpaksa harus membuka kedok dengan bumbu sedikit ketidakjujuran.

"Tinggal sama orangtua?"

"Tidak, saya merantau, Bu."

"Tapi orangtua mengizinkan Sasha kerja di sini?"

Jeda sejenak sebelum ia menjawab, "Ya... orangtua mengizinkan saya bekerja."

Sebisa mungkin diperlambat pace-nya agar tidak menjurus. Yang penting orang tidak curiga kalau ia kabur dari rumah.

Wawancara itu diusai dengan kesimpulan, Sasha bisa mulai training besok. Jika lolos seleksi dapur maka ia bekerja di belakang, namun jika tidak punya jiwa memasak, ia berjaga di depan. Gajinya cukup untuk menghidupi satu orang saja. Setidaknya ia bisa membayar biaya kos-kosan dan keperluan sehari-hari. Untuk menabung… Sasha kira ia hanya perlu banyak memberi.

Langkahnya tertuju ke bahu jalan dan menyusuri pelan-pelan. Atensinya terfokus pada souvernir dan jajanan yang dijaja para pedagang kaki lima. Sahutan mereka berlomba dan saling menyaingi agar bisa menarik minat pejalan kaki. Sasha mampir untuk mengintip barang dagangan, menyibak sebaris kalung berantai, bertanya kepada penjual tanpa membeli. Jogja tidak punya banyak perbedaan mencolok dengan Jakarta, salah satu alasan Sasha mudah beradaptasi.

Di sisi lain ia melihat seorang pria tua duduk di sudut jalan. Tangannya menengadah, mulutnya terus merintih minta tolong. Matanya terpejam, lelah terus-terusan meminta belas kasih. Sasha merasakan dadanya asak. Teringat akan petuah Pram yang berkata tentang kebersihan kota Yogyakarta dan Peraturan Daerah yang berlaku. Tidak boleh ada gelandang dan yang memberi sumbangan akan dikenakan denda satu juta rupiah.

Yang jadi masalah bukan melanggar hukumnya. Tapi mengapa pengemis itu tak lelah meminta? Dan sampai kapan Sasha harus menahan diri sampai hatinya mengeras?

Menyalin gerak-gerik pejalan lainnya, Sasha melintas tanpa melirik sedikit pun. Ia kini tahu. Banyak orang yang lebih mencemaskan diri sendiri daripada membantu orang lain. Namun ia juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan. Siapa tahu para gelandang hanya dijadikan alat bagi oknum-oknum tertentu, seperti yang banyak diberitakan.

Destinasinya berganti sementara ke sebuah rumah makan khas Yogyakarta. Dengan biaya makan murah Sasha tidak ragu untuk menjejak masuk ke dalam. Sebelum mengambil tempat ia memesan sepiring Gudeg Jogja dan berkata ini pertamakalinya mencicip. Pria pemilik rumah makan tertawa dan berkata akan memberinya bonus setengah porsi.

Sasha duduk tepat di bawah televisi. Jika ingin menonton siaran ia hanya perlu menatap lurus ke depan dan melihat pantulannya. Ada sebuah cermin besar yang membentang horizontal. Sasha memafaatkan refleksi cahaya untuk membetulkan posisi kerudung, sambil sesekali tersenyum ke arah reflektor—untuk memastikan rautnya benar-benar tulus.

Bagaimanapun ia sedang memulihkan diri dari sakit hati. Khawatir senyum yang terlontar bersirat kecewa. Namun ia sudah berusaha agar tidak mengumbar sedih.

Pemilik rumah makan mengantar pesanannya ke meja seraya bicara bahasa lokal. Sasha tidak terlalu mengerti dan pilih mengiyakan saja sambil tertawa. Seketika teringat akan Pram dan kesibukannya di kampus, Sasha sontak menyahut cepat, “Pak, Gudeg-nya aku mau satu lagi! Dibungkus….”

Usai permintaannya disetujui, Sasha mulai menyendok sajian khas beralas daun pisang di atas piringnya.

.

Menjelang siang penghuni jalan raya kian menurun jumlahnya. Sasha tidak perlu terlalu waspada saat menyebrang karena pengguna jalan mayoritas patuh pada rambu-rambu lalu lintas. Ia sedang dalam perjalanan pulang saat fokusnya teralih ke sebuah entitas di bahu jalan. Sinar matahari menyusup lewat celah dedaunan dan merambat lurus ke sudut pandang tepat ketika Sasha menajamkan tatap. Satu telapak tangan difungsikan sebagai penangkal terik.

Seorang anak kecil bernyanyi, suaranya nyaring, nadanya semrawut, jari kapalannya tak henti memetik senar gitar mini. Ia tetap menantang sorot baskara meski diabaikan setiap entitas yang lewat. Sebuah wadah berupa plastik bekas kemasan snack ditadahkan. Sadar tak ada yang menderma, dia tidak menyerah dan lanjut ke lagu berikutnya.

Sasha menelan ludah. Penderitaan orang lain selalu mampu mengoyak batin. Masa bodoh dengan denda, ia melihat pengamen itu tulus berjuang. Maka dipercepat langkahnya hingga tepat di hadapan si anak gelandang, kemudian sejumlah uang dilepaskan ke dalam wadah sakunya.

“Terima ka—“ jeda sejenak sebelum si anak kecil melanjutkan dengan senyum, “—kasih, Mbak.”

Sasha refleks tersenyum. Ia mendengarnya samar. Suara si bocah terhenti karena bunyi perut menginterupsi.

Sebuah kantong yang bertengger di jarinya dinaikkan setara sudut pengelihatan. Sasha mengangkat kedua alis dan berkata, “Gudeg, lumayan untuk mengganjal.”

“Eh? I-iya, Mbak….” jelas canggung.

Kantong makan berpindah tangan. Ada rasa bahagia yang meluap seketika. Selalu ada cara untuk melupakan patah hati.

“Hei, tunggu!”

Si anak mengerjap. Ia refleks memutar badan dan berlari menjauh. Sasha mengerutkan dahi dan menoleh ke sumber suara.

“Mbak yang di sana, jangan bergerak!”

Suara bariton berat mengalun tegas, dari pria bertubuh tegap dengan seragam dinas, ditambah tatap mata yang menajam lurus ke arah dirinya. Gawat, Sasha merutuk dalam hati. Ia tak menyangka akan berjumpa dengan penegak hukum secepat ini.

 Seorang polisi menghampirinya sambil sesekali melihat sebuah kertas di tangan. Sasha membeku di tempat. Ia akan ditangkap dan disuruh denda. Syukur kalau tidak ditindak pidana berat sampai-sampai harus mempermalukan diri di media.

Sebuah motor melaju kencang di sebelah kanan, memacu Sasha agar segera sadar dan membuat alasan. “A-aku tidak bermaksud… aku hanya ingin membantu pengamen tadi, aku—“ dan kini ia kehabisan kata, berharap pak polisi menyela dan mengalihkan pembicaraannya ke lain topik.

Sasha mengangkat bahu, “Saya minta maaf, Pak, saya tidak bermaksud buruk. Saya merasa anak itu patut diapresiasi. Saya suka nyanyiannya, jadi saya berikan sesuatu… begitulah, Pak.” terselip sedikit gelagap pada kalimatnya.

“Mbak Sari Shadipa, benar?” tanya si polisi langsung, tersirat tegas beraturan pada nada bicaranya.

Sasha mengernyit, “Siapa?”

“Sari Shadipa, panggilan Sasha, anaknya Pak Andi Kusnandi, benar?”

Sasha melotot, detik itu juga detak jantungnya berubah cepat.

“Akhirnya ketemu,” si polisi tersenyum puas, sebuah HT ditarik dari saku dan langsung mulai melaporkan keadaan.

Lihat selengkapnya