Setelah tiba di kota tempatnya dilahirkan ke dunia, Sasha diinterogasi di kantor polisi. Ia ditanya-tanya mengenai keluarga dan perasaan pribadi. Ia tidak begitu suka karena polisi wanita yang ditugaskan bertanya tergolong sinis. Tipikal wanita galak pada umumnya.
"Tidak mungkin dipidana, toh saya orang yang dicari. Kalau tahu akan dihukum, orangtua saya tidak akan meminta bantuan kalian untuk mencari." dengus Sasha tajam.
Ia memang tidak pernah akrab kalau bicara dengan wanita yang berlagak senior—meski memang jelas kalau polisi wanita di hadapannya tampak sangat andal dalam mengerjakan banyak hal.
Tidak lama setelahnya yang ditunggu tiba. Keluarganya datang dan lantas meminta maaf sekaligus berterima kasih pada polisi yang bertugas. Sang Ibu segera menghampiri Sasha dengan raut cemas seraya berkata, "Ngapain kamu pergi dari rumah? Untung ketemu, Mama sudah cari-cari sampai teman-teman kamu itu tidak ada yang tahu."
Sasha tidak menjawab, tidak pula merespon cibiran Dira yang mengatainya bocah labil. Ayahnya merangkul dan menuntunnya masuk ke mobil, kemudian melangsungkan perjalanan, menuju rumah.
Sasha tidak suka perbincangan yang terjadi. Tidak juga senang pada situasi sekitar yang beranjak membawanya pada luka hati. Ia bersikeras dan bertekad kuat. Ia harus pergi lagi. Merantau yang jauh. Sesegera mungkin. Menghilang dari Jakarta.
.
Hari itu tidak sama seperti kemarin. Tapi sama seperti sepekan sebelumnya. Sebulan sebelumnya. Setahun sebelumnya. Rutinitas, perasaan, situasi dan kondisi, bukannya monoton, tapi meresahkan. Hatinya gelisah, barangkali karena ia jauh dari Yang Maha membolak-balikkan hati.
Barangkali karena orientasinya dunia. Barangkali karena ia tidak patuh pada orangtua. Barangkali karena banyak hal tidak mengizinkannya untuk bermimpi dan merangkai kata.
Ia kembali pada aktivitas sehari-hari. Online, melototi layar ponsel, membersihkan rumah, mencuci piring, memasak, dan membaca. Setiap hari begitu.
Pesan-pesan menyerbu ke kotak obrolan, baik dari grup maupun privat. Mayoritas bertanya kemana ia pergi—musababnya karena orangtua Sasha coba bertanya ke mereka terlebih dahulu. Sebagian mengejek, sebagian prihatin. Sasha berkali-kali menjelaskan bahwa ia hanya ingin merantau.
Sahabatnya bertanya tentang tujuan, Sasha acuh dan menjawab ia ingin keliling dunia. Singgah beberapa lama di negara yang satu ke yang lain. Untuk melihat dan mengagumi ciptaan-Nya. Untuk bersyukur lebih jauh dan membagikan pengalaman serta inspirasi pada semua yang membaca, medengar, dan menginginkan.
Apa saja, yang penting ia keluar dari Jakarta. Apa saja, yang penting ia tidak lagi menderita.
.
Rutinitas itu berlangsung seminggu. Sasha banyak mengajak temannya untuk hang out atau sekadar mengobrol sebentar. Namun kebanyakan dari mereka disibukkan aktivitas kuliah, sekali lagi ia harus urung dan patuh menunggu. Selalu begitu.
Koper dari Jogja yang dikirim Pram sudah sampai empat hari yang lalu. Isinya belum juga dibongkar Sasha. Untuk menyusun kembali pakaian ke lemari saja rasanya enggan. Mungkin karena mimpinya belum juga pudar, jika suatu hari ada kesempatan ia akan langsung meresleting koper dan pergi secepatnya.
Detak jam dinding berotasi sebagaimana mestinya. Angka digital pada jam balok di atas kulkas juga menunjukkan waktu yang sama. Dispenser di samping rak juga mungkin sudah bosan karena airnya terus menggenang, sampai sekarang Sasha belum mengaliri gelasnya dengan air mineral—lebih banyak merusak tubuh dengan soda dan kopi.
Tidak penting sebenarnya apa yang tengah diperhatikan. Selain saat mendapati snack di kulkas habis, Sasha segera mengenakan kerudung dan menyambar jaket di gantungan pakaian, lalu bergegas turun ke bawah. Ibunda bertanya hendak ke mana ia pergi, Sasha menjawab ke minimarket terdekat untuk menyetok camilan harian.
Ia raih kunci motor di atas meja marmer, kemudian mengeluarkan tunggangan dari garasi rumah. Tetangga menyungging senyum kala ia putuskan menyapa. Samar-samar indera auralnya meresap bisik kecil antar ibu-ibu di sekitar ketika Sasha menutup pagar. Mungkin bercerita tentang kepergiannya kemarin.
Sasha meringis. Bagaimana kalau ia pergi lebih jauh lagi? Apa bisik-bisik itu akan berubah jadi pesta hajat dalam rangka merayakan kepergiannya?
Kunci diputar, starter ditekan, gas ditarik, sepeda motor difungsikan, jalannya disesuaikan dengan kondisi jalan. Jika sepi ia bisa mengebut sedikit, dan kalau ramai sebisa mungkin hati-hati. Sasha tetap tersenyum pada sejumlah orang yang ia temui di sepanjang jalan, kendatipun sakitnya masih membekas terasa.
Barangkali berghibah di depan orangnya memang lebih baik, selain sakitnya langsung ke hati, tidak ada umpat dan ejekan yang disertai. Setidaknya bisa langsung klarifikasi tanpa harus ada kabar yang dilebih-lebihi.
Stang dibelokkan ke kiri, roda motor menggerus jalan becek di atas landaian jalan, kemudian menanjak sedikit sebelum tiba di lahan parkiran. Sasha mematikan mesin dan mengunci gerak motor, lalu melangkah masuk mendorong pintu kaca. Ia berhenti dan melihat-lihat sederet snack di rak, menimbang-nimbang mana yang akan dipilih antara rasa cokelat atau pedas-manis.
Why not both, batinnya. Tapi setelah melihat harga, ia letakkan kembali pilihan itu. Yang ramah di kantong dipandang sebagai yang terbaik.
Ia berjalan dan melihat-lihat lagi di rak bagian astor. Camilan cokelat dengan bentuk yang bisa dijadikan pengganti sedotan itu termasuk murah lagi banyak. Tidak ada alasan untuk menolak bagi mereka yang suka berhemat. Sasha menajamkan fokus, mencari-cari mana yang tidak hancur isinya.
"Apa kau bisa berbahasa inggris?"
"Bisa," gumam Sasha pelan. Namun setelahnya ia mengernyit, lalu menoleh ke seorang pria bertubuh kurus di sebelah, "eh? Maaf, saya kira—"
"Mbak bisa bahasa Inggris?" tanyanya lagi.
Sasha tersenyum canggung, "Y-ya... sedikit...."
Seorang pria kurus menyapa, pipi tirusnya seolah mewakilkan kerangka kepala yang hendak menembus kulit wajah. "Kalau begitu, apa kau mau menemaniku keliling dunia?" sunggingan senyum lebar terpatri di mulut, matanya menatap teduh dan melanjutkan kalimat, "maaf, Namaku Bayu, senang bertemu Anda."
"... Hah?"
.
Malam sebelum beraktivitas Sasha melaksanakan tugas cuci piring. Setelahnya ia naik ke atas dan mengunci kamar. Ditariknya satu buku pada rak lalu membuka halaman yang terlipat. Ia lanjutkan bacaan kemarin dan mengisi waktunya dengan meluaskan wawasan.
Benaknya memutar memori ke masa sewaktu ia sibuk menentukan pilihan di minimarket. Aneh sekali orang bernama Bayu itu. Berkata ingin pergi keliling dunia, apa itu tidak terlalu mencurigakan?
Tawa kecil terlolos, lega.
Yang benar saja. Mustahil ada yang mengajak keliling dunia tanpa syarat apa-apa.
.
Malam itu dirinya dihampiri kelesah. Ia mendengar suara-suara di luar, tapi urung untuk memastikan. Berkali-kali ia memejam mata dan menguar do'a, tapi tetap saja kantuk tak kunjung menjemput. Pikirannya menggentayang ke banyak tempat, dan ia masih belum kuasa memanggil kembali semuanya.
Terutama si Bayu lelaki bertubuh ringkih itu. Keliling dunia, katanya. Siapa yang tidak terpengaruh?
Sasha menggeleng cepat, guling didekap erat-erat. Dalam pejam mata dan pendaman wajah di bidang empuk, Sasha menahan napas. Rongga dada kian menyesak, perih matanya ditahan dengan tekanan guling sebagai penutup pengelihatan. Dalam sunyi bulir bening mengalir, disamarkan oleh ruang minim cahaya yang jadi saksi akan bisunya hati yang terluka.
"Siapa pun... bawa aku pergi...."
Isaknya meninggi, penambal sakit tak cukup kuat menahan pedihnya luka menganga.
.
Keesokannya Sasha kembali ke minimarket, mengitari rak-rak makanan, pura-pura belanja, yang penting ia dapati lagi eksistensi Bayu. Penyesalan memang datang belakangan, seharusnya langsung diiyakan saja tawaran Bayu kemarin. Toh, ia memang merasa sudah selesai dengan semua ini.
Siang, sore, malam, seharian penuh ia gunakan waktu untuk berjalan-jalan di sekitaran minimarket. Tidak peduli pada tatap warga setempat yang mengiranya aneh dan kurang kerjaan. Tak henti atensinya ditujukan penuh untuk pria kurus yang muncul tiba-tiba kemarin.
Terbesit di benak, kalau Bayu serius, seharusnya kan ia dijemput?
Sasha mengembuskan napas berat. Jangan menyerah, jangan menyerah, jangan menyerah.