Setiap orang punya mempunyai mimpi masing-masing. Misteri tentang seluk-beluk persimpangan di jalur arteri menuju realisasi. Makna ganda yang meliputi banyak konsiderasi demi mengendalikan situasi. Tentang turunan dan tanjakan hidup yang menuntut pendakinya ikut partisipasi.
Hidup selalu punya cara sendiri untuk memberi. Untuk menyimpan kejutan bahagia. Untuk menguar duka sejuta asa. Untuk menghimpun luka dan membalutnya dengan penambal suka.
Banyak cerita yang tidak perlu diungkapkan. Banyak kisah yang sengaja disimpan. Alternatifnya, biar waktu dan perjalanan yang menjelaskan.
Pernah pada suatu kali Sasha merenung, mengintropeksi diri tentang apa yang terjadi pada hidupnya. Merefleksikan waktu kalau-kalau ada peristiwa yang ia anggap bencana, atau mungkin dirinya sering menyakiti tanpa sempat menyadari. Mungkin momen-momen di luar batas sadar itu yang membuat mimpinya berkarat. Visinya mengenai cita-cita dihujani kelabu yang menyamarkan masa depan.
Atau mungkin, hari ini pun ia melakukan kesalahan. Mengecewakan banyak orang. Membuat lubang menganga lagi pada hati yang sudah banyak berongga. Setiap kali mengingat masa lalu hanya sendu yang hadir menjaga. Ia ingin sekali menjadikan luka sebagai alasan tertawa.
"Kita sarapan di sekitaran sini, ya? Rancaekek, masih di daerah Bandung." Bayu mengintruksi.
Robi menuruti. Mereka menepi ke sebuah rumah makan Padang dan memarkir mobil di depan. Perseneling didorong ke atas, rem tangan diturunkan. Kedua tangan Robi masih memegang setir, matanya lurus ke sajian di balik kaca rumah makan.
Bayu menengok ke belakang, "Kita bicarakan di sini sekalian!" serunya antusias. Garis lengkung bibir yang kelewat naik ke atas murni menyiratkan suka cita.
Risa mengepal kedua tangan, mengangguk-anggukkan kepala, "Ya! Ya! Rencana keliling dunia!"
Vivi menyimpul senyum, melipat kertas pada buku lalu menutupnya. Ia selipkan bahan bacaan di saku jok depan, kemudian bersiap membuka pintu.
Sasha ikut tersenyum sebab bahagia Risa menular, gadis itu selalu tahu bagaimana membuat orang lain tertawa. Berikutnya mereka bergegas keluar dari mobil dan memasuki rumah makan. Tempat di sudut ruang jadi pilihan. Karena satu meja memuat empat orang, terpaksa Robi seret satu bangku dan duduk di ujung meja. Usai Robi memesankan makan, barulah rapat nonformal dimulai.
"Apa kita perlu perkenalan dulu?" tanya Bayu ringan.
Sasha mengangguk, "Yah, kurasa begitu."
Risa menggeleng, "Dibuat alami saja! Ini perjalanan, waktu akan membuat kita saling mengenal."
"Aku setuju," ujar Vivi pendek.
Robi mengangkat bahu, "Ya, terserah. Selama sebulan ini aku sudah kenal Bayu dan Risa, Sasha juga, Vivi on the way, hahaha."
"Sebulan?" satu alis terangkat.
Bayu terkekeh, arah pandangnya berganti lurus ke Sasha. "Benar, perekrutan kalian ini sudah berjalan selama satu bulan. Kami banyak berkeliling pulau Jawa, hahaha."
Risa ikut tertawa, "Aku baru dua minggu, kok. Robi tiga setengah minggu. Yang lama itu waktu di Jogja, haha."
"Jogja?" Sasha melempar tanya lagi. Ia sungguh penasaran, mungkin waktu dan perjalanan akan lebih banyak menyelipkan tanya lagi di setiap sudut benaknya. "Aku di Jogja seminggu yang lalu."
Bayu mengulas senyum, tangannya memainkan sedotan di wadah peralatan makan. "Ya, kami menemukanmu di sana, dan mengambil di Jakarta."
Kulit dahi Sasha lantas membentuk lipatan, sejuta tanya mampir, ia dikuntit?
"Kau akan tahu alasannya setelah melepas semua yang membelenggu dan menikmati perjalanan ini," sahut Vivi menaikkan kacamata. Tatapnya intens ke arah Sasha. "Aku tahu Sasha punya banyak pertanyaan, aku pun begitu. Kuhabiskan waktu satu bulan untuk mempertimbangkan tawaran jalan-jalan ini. Tapi setelah bertemu dengan kalian semua, aku tahu tidak ada yang perlu ditanya. Semua akan terkuak tanpa aku bisa menawar."
Sasha menjeda napas sejenak, kemudian mengangguk kecil. Atmosfer berat itu dipecah oleh gelak tawa Bayu yang berniat mencairkan suasana tapi tidak sepenuhnya berhasil. Setelahnya hadir si pelayan rumah makan yang menyiapkan sajian ke atas meja.
Usai menghatur kasih, kelimanya siap menyantap sarapan. Pagi itu matahari siap transit di cakrawala, kota Bandung sudah banyak dilalui oleh kaum metropolis yang sibuk akan urusan masing-masing.
Risa tidak membiarkan hening mampir ke meja mereka. Ia buka pembicaraan dengan berbagai komentar; soal tekstur dan kelembutan makanan, sendok yang mirip dengan miliknya di rumah, dan pesanan teh manis yang rasanya tawar.
Sasha memerhatikan rekan-rekan di sekitar, setiap dari mereka tertawa dan memaklumi candaan Risa. Ia memang tahu kalau gadis di sebelahnya ini tipe sanguinis yang mudah menarik perhatian. Meski cerewetnya mampu membuat telinga kebas, Sasha sendiri tidak merasa kesal. Justru kehadiran Risa lah yang paling diperlukan di situasi mana pun—setidaknya begitulah Sasha menilai.
Bayu meletakkan sebuah gadget di atas meja. Di layar tablet terdapat baris kalimat yang membentuk rincian, lengkap dengan tabel dan gambar-gambar. "Aku sudah merencanakan perjalanan kita."
Masing-masing mendecak kagum. Vivi menarik tubuh mendekat sembari menyentuh bingkai kacamata, menggumam pelan, "Sejak kapan kau merancang perjalanan ini? Bahkan tiketnya sudah dipesan... tunggu, sekarang tanggal dua puluh tiga, kan? Kau sudah punya tiket untuk tanggal dua puluh empat...."
Bayu tertawa kecil, "Memang, hahaha. Kalian sudah siap, kan?"
"Siap! Siap!" Risa menyorak antusias.
Sasha mengernyit, "Vivi benar... Bayu punya perhitungan luar biasa, ya. Bahkan rute perjalanan kita sudah dibuat di route map ini...."
"Ini ilmu dasar travelling," telunjuk Bayu mengarah ke sebuah gambar di layar tablet. "Menentukan poin dan tempat dituju, membuat route map, memesan tiket dari jauh-jauh hari, hahaha. Maaf soal rencana yang kubuat sepihak ini, kuharap destinasi-destinasi ini cukup untuk kalian."
Robi sontak menggeleng, "Tidak, tidak, ini sudah lebih dari cukup," jarinya menarik sedikit layar ke atas, "kita bahkan ke Eropa juga."
"Namanya juga keliling dunia." Risa mendengus.
Sasha masih takjub, "Tapi ini hebat... perjalanan yang sudah dirancang sedemikian rupa... bagaimana kalau salah satu dari kita tidak muncul tepat waktu?"
Bayu tertawa kecil, "Rencana paling sempurna itu milik Allah, aku hanya menuliskan apa yang kuinginkan. Jujur saja, aku sempat khawatir kalau-kalau kita tidak berkumpul sebelum tanggal dua puluh empat november. Satu tiket bisa mubadzir."
Sasha terhenyak. Bicara soal tiket dan travelling, uangnya darimana? Ia ingin bertanya, tapi enggan, sebab ini menyangkut finansial dan kebanyakan orang tidak suka diungkit soal keuangan.
"Kalau soal biaya, tidak usah dipikirkan. Aku pesan ini dari jauh-jauh hari, jadi harganya masih pada murah. Tour di Asia ini pun waktu itu ada promo, jadi langsung kuambil saja, hahaha!" sahut Bayu enteng, seolah baru saja membaca pikiran Sasha.
Napas lega diloloskan. Sasha menarik gelas berisi air mineral dan meneguknya.
"Tentang peraturan yang kau bilang itu?" Robi menyahut, atensi setiap orang lantas mengarah padanya. Si lelaki jangkung hanya mengangkat bahu, lanjut menyuap nasi dengan sendok alumunium.
"Hm...," Bayu menganggaruk tengkuk, sebelum akhirnya menatap satu-persatu kawannya bergantian. "Tidak ada yang boleh menyimpan kenangan di perjalanan ini."
Masing-masing saling pandang. Tidak mengerti maksudnya apa. Ini perjalanan, jelas akan merekat memori tanpa perlu diizinkan.
"Kita boleh foto, tapi harus langsung dihapus. Tidak ada posting di social media, apalagi sampai share location ke teman-teman. Aku tidak melarang kalian mengaktifkan handphone, tapi... bisa kita sepakat? Tidak ada komunikasi dengan siapa-siapa, hanya kita berlima; aku, Robi, Risa, Sasha, Vivi, ponsel digunakan hanya untuk kita berlima... apa kalian bisa mengerti?"
Sasha menarik napas panjang, mencerna setiap kata yang terlontar penuh makna. Begitu pun Risa, sarat ekspresifnya tidak bekerja.
"Ini sulit, kau minta kita menghapus kenangan." gumam Vivi.
"Kenangan tidak akan hilang," Bayu mengulas senyum, "selama kau masih mengingat dan menyimpannya erat dalam ingatan, haha."
Robi menyandarkan punggung ke badan kursi, menghela napas, "Dengan kata lain, hanya kita yang tahu tentang perjalanan ini, kan?"
Bayu mengangguk. Perlahan Risa mulai menerima dan mendapatkan kembali antusiasmenya.
Mengasing, menjauh, membawa diri pergi...
Apa yang lebih mencurigakan dari alasan itu?
Prasangka buruk ditepis jauh-jauh. Sasha mengangkat telapak tangannya bersatu dengan tumpukan tangan lain di atas meja, kemudian menyahut keras, "Sepakat!"
.
Destinasi pertama adalah negara seribu pagoda, Thailand. Bayu ingin sekali menghadiri festival Loy Karathong yang diadakan di kota Chiang Mai. Perjalanan menuju destini menggunakan pesawat dari bandara internasional Soekarno-Hatta. Sasha agak ragu saat harus kembali menginjak Jakarta, namun keempat teman barunya berhasil menenangkan dan berkata semua akan baik-baik saja.
Jam satu siang mereka tiba di Bandar Udara, langsung menuju mushola dan menunaikan ibadah sholat dzuhur. Selepas itu kembali berkumpul dan menanti di ruang tunggu. Atas saran Vivi, Bayu setuju sebaiknya mereka tunggu saja di Bandara sampai pagi. Sebab jika berkeliaran di Jakarta, ada kalanya akan ditemukan keluarga Sasha—mengingat kejar-kejaran dengan polisi saat di Yogyakarta seminggu lalu.
"Kau tahu, ini mungkin memang menyesakkan, tapi kita akan transit lagi di Soekarno-Hatta." ujar Robi membuka suara.
Sasha yang sejak tadi merasa gelisah, kini bertambah resah.
Robi mengekeh, "Dari Jakarta kita transit di Bangkok dua setengah jam. Lalu ke Chiang Mai. Nah dari Chiang Mai ke Beijing, kita transit dulu di Jakarta, mantap."
Sasha membeliak, sekarang posisinya benar-benar tidak diuntungkan. "Benarkah? Tidak bisa langsung saja dari Bangkok ke Beijing?"
Robi menggeleng, tablet milik Bayu discroll up, "Tidak, tidak, kita justru kelamaan di transit. Dari Beijing ke Yunnan transit, terus balik lagi dari Yunnan ke Beijing, terus transit naik Air China, dan langsung ke Tokyo, deh, mengerti, kan?"
Kepala mengangguk lambat, berusaha mencerna pelan-pelan.
"Ini akan jadi menyenangkan!" Risa girang.
Sasha menepuk-nepuk pelipisnya, menenangkan diri. Bagaimana jika setelah pulang dari Thailand dan transit di Jakarta ia justru bertemu dengan orang yang mencarinya? Lalu ia dibawa pulang lagi, menjalankan rutinitas lagi...
Sasha tak habis pikir. Ia harus melakukan sesuatu untuk menghindari kemungkinan itu.
Vivi menepuk bahu Sasha, menggosokkan tangannya di atas serat fabrik bajunya, "Tenang, Sha, jarang ada polisi yang mencari-cari sampai ke bandara. Apalagi ini kamu, kan? Orangtuamu pernah tahu tidak kalau kamu mau keliling dunia?"
Sasha menggeleng.
Perbincangan itu dipotong oleh isak tangis Risa yang membuat gempar seketika. Bagaimana tidak, gadis yang tadinya bersorak senang itu kini tersedu-sedu. Dengan kerah bajunya ia seka air mata, kemudian menahan isak.
"Kenapa?" tanya Vivi, Bayu, dan Sasha langsung.
Risa menahan napas, berusaha menjelaskan, "Tadi dari arah penerbangan luar negeri, aku melihat satu keluarga yang berduka. Mereka menangis karena sebuah peti jenazah dipulangkan ke tanah kelahiran. Coba kalian bayangkan perasaan mereka, pasti sedih, hiks."
Ah... itu rupanya. Sasha mengangguk-angguk. Risa punya rasa empati tinggi itu tidak mengejutkan sama sekali, terlebih untuk Robi.
Sasha mendelik, dan tidak mendapati presensi Robi di bangku seberangnya. Ia ingin bertanya kemana lelaki itu pergi, namun atmosfernya masih berduka mengenai kesedihan Risa.
Vivi tersenyum tipis, "Risa hebat bisa merasakan kesedihan orang... aku salut."
Risa melanjutkan tangis, padahal tadi sudah mau berhenti.
Sasha bukannya tidak bersimpati, ia tidak tahu harus berkata apa soal batin yang sangat kuat. Risa punya hati yang bersih, hanya sedikit orang yang bisa memahami penderitaan sampai sebegitu dalamnya.
"Nih," sebuah eskrim disodorkan ke Risa. Gadis itu mendongak, kemudian menyambar hadiah pemberian. Robi datang dengan sekantong belanjaan.
"Keripik kentang balado." dengus Risa.
Pesanan yang diminta disodorkan Robi. Risa memangku snack di atas pahanya. "Wafer cokelat." tambahnya lagi.
Sebuah bungkusan makanan ringan yang diminta diulurkan Robi lagi. Risa menampung dan menaruhnya lagi di pangkuan. "Minuman rasa jeruk."
Yang diminta datang lagi.
Sasha menggeleng-geleng, begitu pun Vivi yang menatap takjub, sedangkan Bayu hanya menyunggingkan senyum.
"Makasih, hiks." kini tangin Risa mereda. Gadis itu mulai membuka bungkus eksrim dan menempelkannya ke belah bibir. Menghisapnya khidmat. Robi hanya membalas dengan tawa.
Vivi mendecak kagum, "Hebat, kau bisa tahu semua kemauannya."
Robi masih tertawa, "Ini hanya sebagian kecil. Dia lebih manja lagi waktu itu, ada kucing mati di depan kami, dia benar-benar menangis! Aku hanya belajar dari pengalaman, hahaha."
Sasha menyandarkan tubuh di bangku panjang bermaterial besi. Ada sebersit penyesalan yang mampir tanpa alasan. Seandainya ia bergabung lebih lama, minimal dua minggu lebih dulu, mungkin tidak perlu ada rasa minder yang tercipta usai menerka relasi mereka.
.
Setengah hari itu berlalu dengan tawa dan bincang-bincang. Sudah lama keresahan Sasha memudar. Yang berjenis perempuan memutuskan untuk mandi menjelang keberangkatan, dua lelaki juga ikutan. Pesawat mereka akan terbang pukul enam pagi, kemudian transit di Bangkok empat jam kemudian, lalu mendarat di Chiang Mai dua jam setelahnya.
Usai check in dan boarding kelimanya menempati posisi masing-masing. Dua lelaki di belakang, tiga perempuan di depan. Di pesawat tak ada yang banyak bicara, Risa langsung tidur begitu lepas landas. Vivi melanjutkan bacaan, Sasha menerawang ke luar jendela.
Lajunya menembus cakrawala, menantang hempas angin yang bergerak melawan seluruh dirgantara.
Pada lansekap yang menangkan setiap jiwa, perlahan luka itu terbaluti entah dengan apa. Yang Sasha rasakan hanya kedamaian semata. Ia gali saku celana dan mengeluarkan handphone, membuka tutup dan mencabut baterainya. SIM card ditarik, dituntun ke mulut dan dijepit di antara dua deret gigi. Baterai dipasang dan ditutup, smartphone dikembalikan ke saku.
Sasha menggigit SIM card sekuat tenaga, membuatnya rapuh namun tidak sepenuhnya patah. Ia tarik objek yang dirusak, kemudian melipatnya jadi dua bagian. Pramugari yang lewat sontak dipanggil, Sasha meraih bungkus plastik yang ada di tempat Risa kemudian menyelipkan kartu perdananya di dalam. Bersamaan dengan berlalunya pramugari, sampah itu dibawa pergi.
Ia berniat untuk pergi, yang jauh, jauh sekali, sampai tak ada lagi yang menemukannya. Sampai tak ada lagi yang mengenalnya. Agar ia melupakan segala, menemukan hidup baru, menjadi diri sendiri sesuai kenginan hati.
"Aku juga melakukannya."
Sasha menoleh, namun tidak menjulurkan kepala melewati batas jok penumpang. Ia tahu itu suara Robi di belakang.