Menuju Kunming International Airport yang berada di sebuah provinsi sebelah barat daya Republik Rakyat China, Yunnan, harus transit dulu di bandara ibukota. Setelahnya baru terbang ke destinasi tertuju dan melakukan check and recheck.
Provinsi Yunnan, bandara internasional Kunming Changsui, adalah permulaan kedatangan mereka di China. Alih-alih menuju hotel yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki, Bayu sudah pesan di hostel yang mengharuskan mereka menumpangi taksi. Walau hanya ditambah satu huruf, perbedaan tarif nyata sangat jauh.
"Jadi satu kamar itu kita tidur bersepuluh? Bareng orang lain?" tanya Risa sesaat setelah duduk di taksi. Mereka memesan dua taksi, dipisah jadi Bayu-Vivi dan Sasha-Risa-Robi.
"Biar murah, Ris. Kita banyak pengeluaran di China, Bayu mengunjungi banyak tempat." jelas Robi ringan. "Lagian, toh kita tidak akan tidur berlima, tergantung kamarnya juga.”
"Memang berapa perkiraan biayanya, Rob?" Sasha inisiatif bertanya.
"Satu malam sih 30 yuan. Murah, kan? Nanti mahalnya di ongkos tiket masuk tempat wisata yang akan kita kunjungi."
1 Yuan dibulatkan mencapai 2000 Rupiah.
Risa menganggukkan kepala, "Bayu memang ingin sekali ke China, ya...."
Robi tergelak, "Hahaha, katanya sih dulu dia pernah bertemu dengan tambatan hati di China, tapi hanya perjumpaan semu. Saat kembali ke Indonesia dan balik lagi ke China tahun depannya, Bayu sama sekali tidak bertemu dengan perempuan itu. Hahaha—ups, tapi jangan bilang-bilang, ya!"
"Lagi-lagi, huh." dengus Risa dan menoleh ke Sasha, "dia tuh semacam tahu semua, Sha, aku curiga, deh."
Alasan klasik tapi mendominasi musabab perubahan, hati. Rupanya bukan Sasha saja yang ingin pergi karena patah hati, si pengajak juga sama.
Robi mencak-mencak. "Aku tahu karena aku bersama dengan Bayu lebih lama dari kalian, tahu. Ingat, selama dua minggu aku berduaan sama dia, ya ampun aku tidak mau mengingat kenangan buruk itu lagi."
"Sampai akhirnya malaikat penenang bernama Risa datang, kan, hehehe."
Robi mengusap kepala Risa sambil tertawa, yang dimanja mendengus sebal.
Di tengah perjalanan cerah yang terasa kelam, Sasha sukses berhipotesa mengenai ikatan kuat yang terjahit di antara mereka berdua.
.
Yunnan punya cara sendiri untuk menggambarkan kaum urban. Karena terlalu lama transit di Beijing kini mereka tiba di sore menjelang malam. Lampu-lampu kota sudah terang menerangi jalan, pun dengan kerlap-kerlip lampu yang menandai toko-toko.
Dua taksi menepi. Hostel The Hump. Sebuah bangunan sederhana tidak bertingkat yang memiliki banyak rumah. Menurut informan yang mempromosikan hunian sewanya, hostel The Hump punya banyak fasilitas. Ada billiard lengkap dengan bar segala.
Sebelum berbenah, kelimanya sepakat untuk menyantap makan malam di luar—sebab hostel tidak sama dengan hotel, tak ada makan yang digratiskan. Satu porsi saja harganya hampir sama seperti biaya menginap semalam. Singgah di hostel memang harus mandiri, tidak bisa bermanja-manja. Dan Sasha sepatutnya bersyukur, tidak boleh terbesit keluh-mengeluh selama empat hari ke depan.
Menyusuri bahu jalan, banyak terdapat penjaja makan yang melariskan dagangannya. Namun saat ditanya komposisi, rata-rata mengandung babi, kalau tidak daging babi, ya minyak babi. Setelah bertanya di mana rumah makan yang menyajikan halal food, mayoritas orang menjawab Maan Coffe.
Vivi nyaris tertabrak sepeda motor kala sedang asik memandangi kota. Risa mencak-mencak, menyumpah serapah pada pelaku (hampir) tabrak lari yang berlalu begitu saja. "Ini kan jalur pejalan kaki! Kenapa juga ada motor lewat! Dasar—uwaaa!"
Risa sendiri hampir ditabrak pesepeda saat sedang mengomel sendiri. Berjalan-jalan di China memang mesti hati-hati, Sasha yakin Indonesia lebih baik dalam mengatur fasilitas umumnya.
Penat berjalan, baris kalimat takdir mempertemukannya dengan Maan Coffe, agak jauh dari hostel namun cukup untuk menghemat biaya operasional jalan-jalan. Ketika masuk, alangkah berlebihan cara terkejutnya Risa—meski semuanya juga terkaget. Konsep dan dekorasi kafe ini memang juara. Memasang dekor a la perpustakaan dan dinning hall mewah. Di sisi dinding terdapat rak-rak buku yang terdiri dari berbagai bentuk. Ada yang simestris, berpola, dan random namun masih ada sentuhan artistik.
Kebanyakan tempat kosong memuat dua kursi, Robi akhirnya bernegoisasi dengan menarik meja dan kursi lain serta rela jadi bahan tontonan pengunjung sekitar. Untuk antisipasi agar tetap mengonsumsi makanan halal, malam itu kelimanya jadi vegetarian. Hanya Robi dan Vivi yang memesan kopi khas China.
Setelah order, sang pelayan membagikan sebuah boneka Teddy Bear ke atas meja. Robi lantas bertanya mengenai benda lucu yang langsung direbut Risa, kemudian menjelaskan. "Keren, nih. Mereka memberi pinjam kita boneka sebagai hiburan ketika meninggu—"
"Hiburan ketika menunggu." celutuk Vivi datar.
Robi tertawa dan melanjutkan, "Ya, pokoknya begitu. Tapi jangan salah, bukan berarti ini boneka jadi hak milik. Nanti setelah pesanan kita datang, boneka ini diambil lagi."
Dahi Risa mengerut, "Eh... begitu, ya...."
Robi mendelik. "Tidak usah seperti anak kecil, deh."
"Diam kamu Robi." balas Risa pendek.
"Yang lebih penting lagi," Bayu menyahut, "di sini free wifi."
"Ya... walaupun begitu...." bisik Sasha, komentar untuk dirinya sendiri.
Risa berlagak seperti ada bohlam muncul di atas kepalanya. Ia keluarkan smartphone dan mengangkatnya ke udara. "Kita foto dulu dong, mumpung ada lucu-lucunya, nih. Sekalian model kafe yang keren ini juga mesti diabadikan."
Tidak ada yang mengelak, juga menyela. Meski tahu harus menghapus kenangan, tampaknya kenyataan itu tidak berpengaruh pada Risa. Ia masih tetap percaya diri walau harus menanggung resiko pedih.
Senyum masing-masing disungging, kelimanya beraksi di hadapan jepret kamera.
.
Karena yang laki-laki sedang mandi dan Vivi menyusul setelahnya, Sasha tinggal bersama Risa dan memfungsikan diri sebagai penjaga kamar. Hampir mendekati tengah malam kala sebersit pikiran nakal mampir ke benak Sasha, berkata agar ia tidak usah mandi saja meski apek mendekap badan.
Derit pintu menginterupsi, Vivi hadir dengan ekspresi bersarat kecewa. "Aku mengantri toilet lain saja, sebentar lagi sih katanya. Istighfar, deh aku, tuh. Masih ada sesuatu yang ngambang di klosetnya, hellowww, aku langsung keluar!"
Baru kali ini Sasha melihat Vivi begitu ekspresif, dengan gerak dan bahasa tubuh yang kental menyiratkan kekesalan. Bukannya simpati, justru kedua penunggu kamar tertawa lebar.
"I'm happy born as Indonesian." ujar Vivi setelahnya.
Bukan rahasia umum kalau kebersihan bukan nomor satu di China. Bahkan ketika mereka tiba di kamar ini saja, sempat ada bangkai kecoak yang entah kapan teronggok di sudut lemari.
"Ya sudah, aku balik, deh, biar kaliannya tidak menunggu lama. Bye."
Sepeninggal Vivi, ruang kamar lantas menghening lagi. Sasha dan Risa duduk di tepi ranjang terpisah, namun berhadapan. Sasha mengamati gerak-gerik Risa, menyadari kejanggalan pada tatap matanya yang fokus memandangi layar handphone. "Ada apa, Risa?"
Risa bukan orang yang pandai berbohong, Sasha dengan jelas menangkap fakta itu. Alih-alih bicara it's okay, Risa justru memamerkan layar ponsel yang menampikan foto mereka di Maan Coffe seraya berkata, "Aku sedang memandangi ini sebelum memutuskan untuk menghapusnya."
Sasha menahan napas—teringat bahwa ia sendiri belum menghapus semua foto yang ia curi saat masih di Chiang Mai.
Tatap itu tampak hampa ketika jari-jarinya menari di atas layar. Dari gerak tangannya Sasha menyimpulkan bahwa foto barusan resmi dihapus. Daripada memandang kosong seperti itu, Sasha lebih pilih Risa menangis saja. Tapi mata itu tak juga berlinang.
Kini detak jam di dinding mencuri alih suasana. Ditemani bunyi degup jantung yang seirama dengan rotasi jarum panjang, Sasha mengembuskan napas berat. "Risa." panggilnya, berusaha dinormalkan.
Risa tidak mengangkat wajah, mungkin ia sesang memandangi isi gallery-nya yang bertulis empty.
"Kenapa kamu ikut perjalanan ini? Maksudku, apa kamu tida curiga? Atau ada perasaan—maaf, bagaimana aku mengatakannya, ya—" Sasha frustasi menyortir kata. Bagaimana jika ia salah bicara. Tapi mereka bilang perjalanan akan menjawab segala, kendatipun Sasha tidak banyak menemukan jawaban di Thailand kemarin.
Sasha tertawa kecil. "Tidak, aku tidak punya rasa curiga waktu itu, haha."
Sasha mengernyit, dengan orang seekspresif Risa, bagaimana mungkin tidak curiga. "Hah?" tapi ia bernapas lega setelah tahu yang bersangkutan tidak menguar emosi berlebihan.
"Mana sempat aku merasa curiga waktu itu, Sha, hahaha. Aku langsung mengiyakan ajakan Bayu saat itu, tanpa negoisasi, tanpa undur-undur waktu, haha."
Tawa itu alot, seperti menyimpan luka, membuat Sasha urung untuk lanjut bertanya.
"Akan kuceritakan kalau kau bersedia mendengar."
Sasha terdiam sejenak. Usai mengitar pandang, tatapnya kini intens ke gadis di seberang. "Akan kudengarkan kalau kau tidak keberatan."
Risa mengulas senyum tipis, memulai kisahnya. "Kau tahu kecelakaan pesawat tempo waktu lalu? Sampai sekarang beritanya masih banyak tersebar di media."
Sasha mengangguk. "Aku tahu, tapi tidak begitu mengikuti beritanya. Kenapa?"
"Kedua orangtuaku pergi saat ingin menjenguk nenekku yang terbaring koma. Namun justru mereka pergi duluan. Jenazahnya termasuk yang tidak ditemukan."
Sambaran petir seketika. Sasha sekejap tak tahu caranya bernapas.
Risa mengekeh ringan. "Aku sudah baikan sekarang, haha, tolong jangan pasang wajah seperti itu."
"Maaf." ucap Sasha cepat. Ia pandangi sepasang sendal tipis di atas lantai, kemudian menarik napas panjang. "Maafkan aku, Risa, maaf." sahutnya cepat, ia menyesal karena dua hal; sempat berprasangka buruk pada Risa, dan merasa kesal dengannya meski Risa tidak melakukan kesalahan apa-apa.
Risa mengibas tangan, menggeleng pelan, "Tidak, tidak apa-apa." berikutnya ia menghela napas, melanjutkan cerita. "Tinggal menunggu waktu sampai aku dibawa ke panti asuhan—kami bukan orang berada, harta waris sepenuhnya dihibahkan padaku sebagai anak tunggal. Tapi pamanku berkata, beliau akan merawatku asal warisannya pamanku yang kelola."
Sasha menjeda napas, masih fokus mendengarkan.
"Lalu Bayu dan Robi datang, memaksaku ikut, dan tanpa tanya dan tawar menawar aku mengiyakan. Dan aku pergi, hehe!"
Senyum yang mengembang itu kini memancarkan sinarnya lagi. Teduh, cukup menenangkan untuk Sasha yang diluputi rasa bersalah.
"Robi sangat mengerti aku, mungkin alasannya karena dia menemukan aku sebagai anak yang malang. Tapi sekarang tidak lagi, dia benar-benar baik padaku. Dia lakukan apa yang kuminta, apa yang kuinginkan... dia selalu tahu bagaimana cara membuatku lupa."
Sasha menelan ludah.
"Aku trauma pada pesawat, tapi itulah cara Robi mengumbar janjinya agar aku berani menghadapi ini semua. Maaf kalau aku terlihat mencari perhatian saat di bandara Soetta, aku sungguh tidak bisa menahannya. Maaf."
Gelengan cepat diberikan. "Risa kau sungguh kuat. Kuat sekali."
"Ahahahaha, memang." gadis itu tertawa lepas, seolah bebannya langsung terhempas sesuai dengan keinginan. Berikutnya posisi duduk dikoreksi, Risa menatap lurus. "Jadi... bagaimana ceritamu, Sasha?"
Yang ditanya mematung sebentar. Jarinya mengetuk-ngetuk kasur yang tidak begitu empuk. Matanya bergerak gelisah, namun akhirnya diarahkan ke lawan bicara.
"Tidak apa kalau belum siap cerita. Kapan-kapan saja. Waktu kita masih panjang, hehe."
Bersamaan dengan berakhirnya kalimat toleransi barusan, pintu diketuk dan menampilkan sosok lelaki jangkung yang nampak segar dengan wangi parfum separuh menyengat.
.
Stone Forest. Salah satu situs warisan UNESCO yang terletak di Shilin Country, Lunan Yu, 78 kilometer dari Kunming. Bayu memutuskan untuk menyewa mobil dan sopirnya dengan harga 300 yuan. Bayar lagi biaya masuk perorang 175 yuan. Perjalanan ditempuh dalam satu setengah jam, ditambah antre, masih kurang dua jam.
Julukannya adalah First Wonder Under The Sun. Stone Forest meliputi area seluas 350 kilometer persegi yang terdiri dari 270 karst topografi dengan masa jutaan tahun. Dipenuhi menara batu dan monolit berbagai bentuk yang aneh dan unik, seperti hutan batu yang luas.
Begitu kata tour guide lokal dengan bahasa Inggris yang kental akan logat daerah.
Sejauh arah mata memandang terhampar bukit-bukit batu menjulang tinggi, dialasi rerumputan hijau yang nampak terawat. Pemandu berpayung mengenalkan setiap batu yang mereka lewati, berkata yang paling tinggi mencapai tiga puluh meter.
Para pengunjung berkeliling dengan berjalan kaki di jalur yang telah disediakan. Ada sensasi mengagumkan kala jalan kecil membawa masuk melewati celah-celah sempit bebatuan, kalau melihat ke atas akan tampak batu menjulang yang seolah menghimpit. Bahkan mereka juga dipandu naik ke puncak untuk mendapatkan pemandangan yang lebih menakjubkan.
Ketika tiba di deretan batu menjulang yang berbaris tak karuan, pemandunya bercerita tentang batu Ashima yang jadi legenda di China. Sasha tidak terlalu mendengarkan karena sibuk memutar pandang, intinya kisah itu menceritakan tentang lelaki desa bernama Ahei yang jatuh cinta pada seorang wanita catik jelita, Ashima. Namun anak seorang kepala suku bernama Achin menghalangi cinta mereka. Achin menculik Ashima, namun perasaannya tak juga berbalas. Akhirnya Achin membuat banjir besar dan menenggelamkan desa. Ahei mencari Ashima, namun terlambat. Ashima sudah menjadi batu. Sejak saat itu, setiap kali Ahei merindukan Ashima, dia selalu datang dan bicara kepada patung Ashima. Yang ada hanyalah gema. Gema yang tak lain adalah bisikan cinta Ashima, dan itu cukup menjaga kesetiaan Ahei pada cintanya, selamanya.
Adapula sebuah puisi yang terukir di dinding karst, pemandunya menjelaskan asal muasal segala yang ada di lokasi wisata.