Transit di Beijing menuju Tokyo memakan waktu empat jam dengan Air China. Rentang waktu yang ada mereka gunakan untuk icip-icip kuliner; ayam cincang Gong Bao dan Wonton (sejenis siomay). Lalu berjalan-jalan di ibukota—tapi dilarang keras jauh-jauh dari bandara.
Sasha kebagian tugas membeli camilan di minimarket dalam bandara. Dengan modal bahasa asing pas-pasan ia mematuhi perintah dan menyiagakan pikiran. Pola konversasi yang pernah ia pelajari di lembaga kursus bahasa Inggris dahulu diulang-ulang di kepala. Tanpa harus menguasai huruf-huruf kanji China Sasha mempersenjatai diri dengan bahasa Inggris yang umum saja.
Menyusuri aula Bandar Udara Nanyuan Beijing, mengikuti arah di papan petunjuk, dengan cepat Sasha tiba di minimarket. Abjad latin kecil cukup menerangkan bahwa ia tidak salah mengunjungi tempat. Sasha mendorong pintu kaca sembari menenangkan diri.
"Sha!"
Panggilan dari suara yang begitu dikenal. Begitu menoleh, benar saja Robi yang muncul. Sambil terengah-engah si lelaki jangkung menyesuaikan langkah, ikut berjalan-jalan menyusuri rak-rak makanan di ruang belanja.
"Bayu lupa bilang, beli makanan instant juga, buat perbekalan di kereta."
Sasha ingat mengenai penjelasan rute ke Sapporo. Pesawat mereka nanti akan turun di Narita Airport, lanjut taksi ke stasiun Tokyo. Kemudian dari ibukota Jepang ke destinasi wisata menggunakan jalur darat, kereta, 30 jam pulang-pergi. Dalam 15 jam keberangkatan mereka harus empat kali berganti kereta.
"Aku kira mau belanja di Tokyo saja, ya sudah kalau begitu." jawab Sasha kalem.
Robi menggeleng, "Biar tidak kelamaan di Tokyo, kalau mau jalan-jalan di Tokyo setelah pulang saja. Kata Bayu, lho, ya."
"Jadi..." Sasha merogoh saku, mengeluarkan sejumlah uang kertas, "ini cukup, tidak?"
"Nah, lho, aku lupa bawa uangnya." Robi menarik dompet, kemudian mengulas senyum lebar. "Aku tukar dulu di money changer, deh."
"Bayu tidak kasih uang?"
"Tidak, biar aku saja! Tunggu, ya, jangan asal ambil snack-snack dulu, tunggu persetujuanku!" sahut Robi dan berbalik pergi.
Sasha terkekeh ringan. Setelah menanti punggung tegap yang mengilang di balik pintu kaca, ia berbalik badan. Menyusuri rak-rak, melihat-lihat jenis makanan, mencari-cari yang berlabel halal. Tidak sulit menemukannya sebab pegawai toko langsung menuntunnya ke rak khusus makanan halal setelah melihat Sasha yang mengenakan kerudung.
Minuman soda, lewat. Kacang-kacangan, lewat. Biskuit gandum, lewat. Hampir semua ia lewati karena harganya diluar batas toleransi. Kalau dihitung-hitung, 200 yuan yang dibekalkan padanya tidak cukup untuk lima porsi orang dalam 15 jam perjalanan. Tadinya ia hanya ditugaskan untuk membeli camilan selama empat jam kedepan, tapi terjadi perubahan misi.
"Hoi!"
Robi datang dengan berlembar-lembar mata uang yuan. Senyum Sasha mengembang. Jenis-jenis makanan yang terlewati langsung disambangi kembali. Satu persatu kemasan yang penuh aksara kanji langsung dicomot—tentu saja dengan label halal.
"Aku tidak mau yang rasa rumput laut." kata Robi pendek.
"Tapi aku mau." balas Sasha datar.
"Yang rumput laut tidak enak, kebanyakan rasa asinnya."
"Namanya juga rumput laut." dengus Sasha.
"Yang balado saja."
"Tidak."
Sesekali mereka berdebat tentang snack mana yang layak dibaurkan ke dalam keranjang. Sesekali Robi iseng mengembalikan makanan pilihan Sasha ke sembarang rak. Sesekali Sasha meninju lengan Robi karena kesal dijahili.
"Awas, gangguin orang mulu entar suka, lho." sahut Robi enteng.
Sasha menoleh patah-patah, melototi Robi dari pucuk rambut sampai ujung sepatu. Ekspresinya berkata, 'How-can-I—?'
"Kan, kan, speechless, kan." sambung Robi meledek.
Sasha merebut keranjang yang dibawa Robi, "Dari awal yang gangguin orang terus itu kamu, sadar tidak, sih?!"
"Sadar, tidak, yaaa~?"
Sasha mendengus, merotasi bola mata. "Ini kira-kira sudah berapa ya biaya belanjaannya?"
"Paling seribu yuan." celutuk Robi.
"Mahal juga. Tidak sampai segitu, sepertinya." kemudian ia mengernyit, teringat rencana perjalanan dengan kereta. "Tapi kan di kereta pasti ada gerbong makanan."
"Iya, sih." jawab Robi datar.
Lalu mereka berpandangan.
Setengah menit kemudian, snack yang berbiaya tinggi dikembalikan ke rak. Dengan cengir tak berdosa keduanya membawa keranjang ke meja kasir. Membayar lima ratus yuan sebagai tebusan belanja.
"Ini belanjaan lebih mahal dari nyewa sopir, ya." kata Sasha pelan.
"Iya, namanya juga manusia, butuh makan." jawab Robi ringan.
Sembari menunggu jadwal keberangkatan, mereka berpencar, bertemu lagi, membincangkan hal-hal sepele, mengingat-ngingat momen perjalanan saat di Chiang Mai dan Yunnan, kemudian bersiap mengangkuat barang bawaan.
Selamat tinggal, China. Selamat datang, Jepang.
.
Pada musim dingin, Hokkaido menjadi tujuan wisata paling ramai. Letaknya berada di paling utara Jepang, membuatnya memiliki musim salju lebih dulu dan lebih lama. Di saat Tokyo masih menyisakan dedaunan jingga dan oranye yang berguguran di tepi jalan, Hokkaido sudah lebih dulu move on dari musim gugur.
Tidak perlu waktu lama. Setelah check out dari bandara Narita dua taksi menanti di depan, mereka langsung menuju Tokyo Station. Menerawang di balik jendela, setiap dari mereka mengamati kesibukan kaum urban di ibukota. Suhu udara semakin hari turun temperaturnya. Meski butir-butir salju belum menghujani Tokyo, penduduknya sudah lebih dulu mengenakan jaket dan sweater ketika berada di luar rumah.
Di sepanjang jalan tersisa memori-memori musim yang akan berlalu. Mereka melewatinya, Sasha menatap daun-daun momiji yang berguguran dengan sendu. Angin sesekali menerbangkan serpihan daun yang terinjak, ke mana saja asal terlindung dari pusat keramaian manusia. Musim gugur akan berlalu di Tokyo, ranting-ranting yang menggundul siap menerima hujaman badai dingin di keesokan harinya.
Tokyo dengan segala kesibukannya. Sasha pernah memimpikan ibukota Jepang ini. Ia dulu belajar mati-matian untuk mendapatkan beasiswa kuliah di Tokyo Daigakusei, namun dihujani hambatan. Ia tersenyum miris kala mengenang memori pahitnya.
Setibanya di stasiun Tokyo, Bayu dan Robi membeli tiket dan memberikan akses masuk pada masing-masing rekan. Direntang waktu singkat, Sasha sempat melihat-lihat sebuah toko yang menjajakan souvenir. Namun tidak butuh waktu lama sampai kereta cepat (shinkasen) tiba dan akan membawa mereka menuju Shin-Aomori Station dalam tiga jam.
Perjalanan tiga jam membawa Sasha melekatkan pandang pada bidang visi di luar kaca jendela yang berlalu. Di beberapa tempat masih tersisa deduanan kuning yang menunggu kesempatan hingga bersatu dengan momiji lain di jalanan. Meski kereta melaju sangat cepat, entah kenapa panaroma itu terasa begerak lambat di mata Sasha. Tokyo adalah kota impiannya. Salah satu alasan mengapa ia berjuang sangat keras lima tahun lalu.
Dari stasiun Shin-Aomori, mereka transit dan naik kereta ekspress ke Aomori Station dalam enam menit. Bayu dan Vivi sangat mewanti-wanti agar tidak ada yang tertinggal. Sebab waktu transit kereta hanya tiga sampai lima menit. Jika tertinggal satu saja kereta, maka harus ubah rute dari awal.
Dari website resmi perkereta apian Jepang, Robi hanya perlu mengkalkulasi jarak dan tujuan untuk mendapatkan rute terakurat. Dengan petunjuk khusus hasil search engine bermodal wifi gratis, mereka akan lanjut dari stasiun Aomori ke stasiun Sapporo dalam delapan jam ke depan.
Tahu butuh istirahat, masing-masing berinisiatif menemukan tempat nyaman. Vivi mendapatkan sebuah spot kosong dengan dua bangku panjang berhadapan, namun hanya bisa dihuni empat orang. Satu bangku untuk Bayu, dua di depannya bebas mau siapa saja.
"Aku cari tempat lain, deh." ujar Vivi mengitar pandang.
Risa sontak menggeleng, "Vivi yang menemukan tempat, sudah duduk saja di sini. Biar aku yang cari tempat lain."
"Aku saja." tawar Sasha.
"Aku saja, kalian duduk di situ." usul Robi.
Setelah ditentukan dengan suit yang dimenangkan Risa, Sasha dan Robi terpaksa memisahkan diri dan mencari bangku lain. Hanya di depan sepasang orangtua lah tempat tersisa. Mau tidak mau harus mau, keduanya meminta izin dengan bahasa Inggris, dan membuat si nenek mengernyit heran.
Sasha membungkukkan badan. "Konnichiwa, obaa-san. Bokutachi wa koko ni suwaru shitai desu. Yoroshiku onegaishimasu."
Si Nenek tertawa, "Ha'i, ha'i, douzo."
Sasha menarik Robi agar segera duduk di tempat. Di samping nenek terdapat si Kakek yang tertidur pulas menyandari di kaca jendela. Robi menguar inisiatif untuk meletakkan barang di bagasi atas kemudian duduk, berbisik ke Sasha. "Kau bisa bahasa Jepang."
Sasha mengerutkan dahi, "Sedikit."
"Bohong. Tadi lancar sekali." Robi masih berbisik.
"Itu kan kalimat percakapan umum, wajar, tahu." balas Sasha pelan.
Konversasi sembunyi-senbunyi mereka diinterupsi oleh sahutan nenek yang dibarengi senyum teduh. Robi mengerutkan dahi sambil sesekali memandangi Sasha yang mengangguk-angguk seperti orang paham.
"Apa katanya?" tanya Robi pelan.
Sasha tampak mencerna sekali lagi, kemudian menginformasikan. "Intinya nenek ini bilang kita santai saja, ngobrolnya tidak usah bisik-bisik. Bahasa Jepang si nenek ini agak kuno, aku belajarnya Jepang Modern, jadi hanya itu yang bisa kutangkap." jelas Sasha panjang.
Kemudian si nenek berbicara lagi, dengan tawa dan jarinya menunjuk ke suami di sebelah. Sasha menerjemahkan, "Mereka asli Sapporo, di Aomori ada keperluaan menjenguk cucunya yang sakit, begitulah."
Robi mengangguk-angguk, dituntut mengerti.
Berikutnya konversasi itu diakhiri dengan tertidurnya si Nenek selama perjalanan. Robi sempat pergi ke gerbong belakang untuk mengambil perbekalan di tas Risa, kemudian kembali dengan sekantong plastik berisi makanan ringan. Pasangan lansia itu terlihat pulas, Sasha tidak berani membangunkan meski untuk berbagi makanan.
"Bahasa Jepang, ya...." gumam Robi pelan.
Sasha mengekeh. "Kanji China dan Jepang agak beda, makanya aku tidak terlalu mengerti aksara China. Kanji Jepang itu sendiri juga aku tidak tahu banyak, ada seribu enam huruf kanji, aku tidak hafal semuanya, hahaha. Jangankan aku, rata-rata orang Jepang sendiri belum hafal semua huruf kanjinya."
"Kau jelas tahu banyak, Sasha."
Entah kenapa semburat merah meronai wajah. Ia dipuji dan melambung tinggi. Sebab baru kali ini Sasha terlihat berfungsi selama perjalanan mereka.
"Aku tadi bilang ke tiga orang di gerbong belakang tentang kelancaranmu berbahasa Jepang. Mereka ingin belajar katanya, hahaha."
Sasha refleks menggeleng cepat. "Tidak, tidak, aku tidak semahir itu."
"Biasa orang pandai merendah." cibir Robi.
Sasha menghela napas, lalu mengekeh ringan. Arah pandangnya terbagi ke pemandangan di balik bidang kaca jendela. Hording disibak agar lebih memberikan view yang luas. Di sepanjang laju kereta panaromanya berganti-ganti. Dari deret pohon beranting gundul, beralih ke antrean kendaraan di belakang portal, lalu lintas pejalan kaki dengan berbagai atensi, dan danau jernih yang sayangnya harus dilewati secepat dentang waktu yang bergulir pergi.
"Jadi... ada apa dengan Jepang?"
Pertanyaan Robi menuntut kepala Sasha bergerak menoleh. Alih-alih menjawab, Sasha justru menyungging senyum tipis dan mengalih pandang ke sepasang orangtua di depan. "Kau tidak tidur?"
Robi mengangkat pergelangan tangan, "Masih ada tujuh jam—ah, harus menyesuaikan waktu lagi, nih." katanya sembari memutar tombol kecil di sisi kanan jam.
Senyum masih bertahan di lengkung bibirnya, raut muka Sasha sama sekali tidak menyiratkan sedih dan kecewa.
Robi mengusai pengaturan pada arloji, kemudian balik menanyakan hal sama, "Jadi, Jepang itu apa?"
Sasha terkekeh seketika, "Ini Jepang. Sebuah negara yang dijuluki negeri matahari terbit, terkenal dengan bunga sakura, dan kebudayaan tepat waktunya yang mengakar di masyarakat. Ini Jepang, negara yang sedang kita kunjungi sekarang."
Robi mengulas senyum tipis, tidak melepas tatapnya selain ke iris legam. "Apa Jepang untuk seorang Sasha?"
Merasa disudutkan, Sasha terpaksa merekayasa senyum. "Jepang adalah... impianku, Robi." pengelihatannya beralih ke kaca jendela, memandangi langit yang menampilkan oranye senja. "Aku bersyukur akhirnya bisa berada di sini."
"Oh, ya? Jadi... apa yang ingin kau lakukan di sini?"
Sasha mengernyit, memandang Robi yang entah kenapa jadi penasaran sekali. "Aku dulu ingin kuliah di sini."
Dua alis terangkat, "Dan...?"
Sasha mengedipkan mata beberapa kali, membuang pandang ke jendela—meski tidak jelas melihat apa—kemudian menghela napas berat. "Its a long story."
"Aku tidak keberatan untuk mendengarkan." jawab Robi tenang.
Sasha memutar pandang, memastikan situasi aman dan terkondisi meski sesungguhnya tidak perlu berlaku demikian. Semata-mata yang ia lakukan hanya mengulur waktu, tapi Robi tampak tidak terganggu dengan penundaannya.
Tidak peduli pada masa yang bergulir tanpa kendali, Robi tetap menunggu. Sasha ingin sekali rekan di sampingnya memberi toleransi seperti yang Risa lakukan di Yunnan, namun karakter setiap orang berbeda—Robi sama sekali tidak melakukannya.
"Ini cerita yang panjang." ulang Sasha.
"Aku siap mendengarkan." jawab Robi tegas.
Imej Robi si penjahil mendadak hilang, lelaki di sampingnya seperti orang lain saja. Namun Sasha memahami, mungkin ini cara Robi menunjukkan keseriusannya. Tahu bahwa luka tidak baik dipendam, apalagi ada orang yang bersedia dibagikan, Sasha memutuskan untuk memulai cerita.
"Berawal dari alasan mengapa aku ingin sekali pergi...."