Perjalanan dua belas jam di kereta disambung dengan taksi yang membawa ke Bandara. Tokyo dengan sisa ranting gundul sebagai simbol pergantian musim hendak ditinggalkan. Sasha tidak protes meski ingin. Ia harap suatu hari bisa kembali ke negeri sakura ini. Ingin menikmati sisa tiga musim lainnya dan mengunjungi seluruh tempat terkenal di Tokyo dan sekitarannya.
Jepang tampak memukau, termasuk saat melihatnya dari atas daratan
.
Empat jam dengan British Airways, pesawat mendarat di London Heathrow Airport. Bayu mengutus Robi dan Vivi untuk menuju sebuah loket yang menjual kartu perjalanan selama di United Kingdom. Karena waktu persinggahan mereka tidak lebih dari dua pekan, TravelCard—semacam kartu single trip, namun bisa di top up—dibeli dan diisi sebanyak 50 poundsterling untuk masing-masing kartu.
1 pound mencapai 17.000 rupiah jika dibulatkan.
"Memang sekali naik itu kena berapa pound?" tanya Risa, yang ternyata mengintili dua rekannya yang bertugas.
"Tergantung kita mau kemana." jawab Robi pendek.
Vivi mengangkat alis, "Ada yang empat belas pound, ada yang sampai tiga puluh satu pound... tapi apa benar tidak kurang, nih, Rob? Kita kan bolak-baliknya ke Manchester."
Robi membuat gestur menyeka air mata, "Kurs rupiah lagi tinggi-tingginya, serba mahal di sini. Kita hemat-hemat saja, ya. Nanti kalau kurang tinggal di Top Up."
Setelah check out mereka langsung disambut berderet taksi. Namun Bayu memilih pria tua tak berseragam bermobil van putih untuk disewa sebagai sopir—Vivi sempat menegur agar Bayu pilih yang pasti saja, tapi Bayu berbisik bahwa orang tua tidak akan melakukan kejahatan, dan mereka bisa satu mobil karena menumpangi van.
Termasuk banyak aksi kriminal di London, lebih sering di malam hari, mayoritas dilakukan orang mabuk.
Sembari menyalakan mesin, sang sopir menyahut ringan. "My name is John. John Steve."
Mr. John menawarkan spot-spot terkenal di London untuk dihampiri sebelum tiba di Manchester. Sebab jalannya searah. Bayu menjawab, tadinya memang itu rencananya. Namun karena dia butuh istirahat segera—karena tidak bisa tidur di pesawat, jadilah Manchester sebagai tujuan pertama.
London dengan keramaian metropolisnya. Bahu jalan diisi lalu-lalang pejalan kaki, jalan raya dengan transportasi umum dan mobil pribadi, pada deretan bangunan berdiri stasiun tube yang ukurannya setara ruko—namun lorong bawah tanah tempat kereta listrik berada itu sangat besar.
"Masih belum turun salju, ya, London..." gumam Vivi mendongak, menatap lurus ke cakrawala dari belakang bidang jendela.
"Biasanya turun salju di bulan januari, malah. Itu juga bisa dua tahun sekali. Sekarang, kan, problemanya memang ini, Sha. Cuaca, global warming, musim-musim di dunia tidak lagi bertugas sesuai jadwal." jelas Vivi tersenyum tipis.
"Beda, ya, sama Hokkaido." Risa mengangguk.
Sasha ikut berargumen, "Jangankan beda, Ris. Dulu Hokkaido di awal desember saja sudah lebat saljunya. Sekarang kan kita masih bisa lihat banyak jalan tanpa tumpukan salju di kota-kota."
London masih belum rela melepas autumn. Beberapa daun masih menolak jatuh dari ranting. Seolah tak siap dengan pergantian musim yang pekat akan kelamnya cakrawala. Banyak orang membenci salju, karena lebih banyak menghambat aktivitas, katanya. Namun sebagian orang menyukainya, sebab jatuhnya kristal es dari langit mampu memanggil kembali memori yang pernah hilang, seperti memaksa diri untuk mengenang, bagi yang menikmati luka maupun tidak.
Meski begitu, sebagian orang di London sudah mengenakan jaket maupun sweater tebal, lilitan syal yang direkatkan kala keluar dari fasilitas umum, serta stocking tinggi demi melindungi diri dari tebasan dingin. Antara sudah bersiaga saat awal musim gugur, atau memang terpaksa menghadapi cuaca baru.
"Kalau seperti Jerman, atau negara-negara skandavia lainnya, curah saljunya tinggi, temperaturnya lebih rendah dari London. Memang hanya London, deh, yang begini." sahut Vivi mengekeh.
Sasha membuka resleting tas dan mengeluarkan sebuah syal rajut yang sempat ia beli di stasiun Tokyo. Dililitkannya penghangat ke bagian leher, kemudian mengendus aroma harum dari pangkal kain.
Robi menyelutuk, "Ini tidak terlalu dingin, kok. Suhunya juga masih dua puluh tujuh derajat celcius. Memangnya kerudung kamu saja tidak cukup untuk menahan dingin?" sahutnya seraya melihat termometer digital di smartphone.
Sasha mendelik, "Suka-suka, dong, Risa saja sudah pakai jaket duluan."
Dua alis terangkat, "Lho, sejak kapan Risa pakai jaket?"
Yang bersangkutan mengetus, "Komentar saja, nih. Awalnya kukira turun salju, rupanya tidak. Jangan salah, aku kuat dingin, kok!"
Tatap mata Sasha kecewa entah kenapa, mungkin karena Risa alih-alih menguar pembelaan, malah menebar dusta.
"Kalian berdua tidak-tahan-dingin-squad." sahut Bayu datar.
Sasha dan Risa saling pandang. Yah... karena yang bicara Bayu, tak seorang pun berniat komplain.
.
Setelah menempuh jarak lima jam dari London, mereka tiba di The Place Hotel, sebuah gedung penginapan yang memiliki dua model kamar, apartemen dan hotel. Karena mereka berniat menghabiskan seminggu di tanah Britania, jadilah yang dipesan kamar tipe apartemen. Karena memesan dua kamar, pihak hotel menggabungkan pesanan menjadi satu apartemen di lantai paling atas, Penthouse.
Terdapat dua kamar yang masing-masing memiliki toilet sendiri. Selain itu disertai balkon privat yang menyediakan sepasang sofa dan sebuah meja di pusat ruangan. Terdapat tangga menuju lantai dua di dalam apartemen, ruang keluarga dengan TV dan furnitur kilap, serta ruang makan yang lengkap dengan alat-alat masaknya.
"Kita akan nyaman tinggal di sini, haha." kekeh Risa, kemudian celingukan ke sekitar, "lho, di mana Robi dan Bayu?"
"Robi sedang mengantarkan Bayu ke kamar," gumam Vivi pelan, lalu berbalik pergi. "Aku juga mau ke sana, deh. Demamnya tinggi tadi."
Risa melenguh, "Tumben. Apa Bayu tidak tahan dingin?"
Sasha melirik, "Itu kan kamu."
Tidak terima, Risa balas dengan menyikut Sasha. "Kamu sadar diri, dong."
Meski belum mampir ke Istana Buckingham, perjalanan dari London ke Manchester juga sudah bertepatan dengan senja. Sisa waktu menuju malam digunakan untuk beristirahat. Besok setelah Bayu pulih, berbagai destinasi wisata di London akan dicicil kunjungannya.
Atas dasar empati pak sopir kembali ke apartemen dan membawakan makan malam. Ia berkata sangat kasihan pada Bayu dan berharap pria kurus itu lekas sembuh dan menggunakan jasanya lagi untuk jalan-jalan besok. Vivi yang menerima sodoran lantas menuturkan terima kasih. Mungkin Bayu benar, pak tua ini berlaku sangat baik.
Masing-masing porsi konsumsi dibagikan. Menu utamanya fish and chips—makanan khas Inggris yang bahan utamanya ikan dan kentang. Lalu di mangkuk lain tersaji salad dan sebungkus mayonaise. Robi membawakan porsi Bayu ke kamarnya, sementara Sasha, Risa dan Vivi menikmati dinner-nya dalam senyap.
Meski ada sirat cemas mengenai kondisi kesehatan Bayu, ketiga perempuan sebisa mungkin tidak khawatir berlebihan. Usai menyantap makan malam, di dalam kamar mereka mengeluarkan barang-barang dari tas dan menyusunnya ke atas meja. Karena tersedia mesin cuci ketiganya berlomba merebut, namun akhirnya hompimpa mengadili.
Vivi yang pertama mencuci pakaian kotor, dilanjutkan dengan Risa, lalu Sasha yang terakhir. Sebisa mungkin diselesaikan malam ini, sebab mulai besok mereka akan sibuk menjelajahi Britania Raya dan tidak sempat mengurusi barang bawaan.
.
Menjadi yang terakhir berarti harus mengawasi. Mengecek setiap ruangan, siapa tahu ada lampu yang masih menyala. Air di kamar mandi keluar atau tidak. Serta pintu balkon sudah dikunci atau belum.
Dari balik pintu kaca Sasha menerawang cakrawala kelam. Tidak begitu tampak gugusan cahaya meski ia berada di lantai teratas. Suatu hari ia ingin mendaki gunung dan melihat bintang dari atas puncak. Mungkin pemandangannya akan sama dengan yang ia lihat di foto-foto.
Ia ingin coba merasakan angin malam Manchester. Maka Sasha menurunkan kenop dan menarik pintu. Satu kaki dijejakkan ke balkon, dingin. Karena hanya ingin mampir sebentar ke luar, Sasha urung menyambar pelindung tubuh yang digantung di dekat kamar mandi.
"Lah, Sasha?"
Suara familiar yang memanggil menjadi pusat atensinya. Robi sedang berdiri di balkon kamarnya, Sasha menduga lelaki itu sedang menatap langit layaknya pujangga.
Mendekati sofa di balkonnya, Sasha menyapa balik Robi yang dihalangi pagar besi sebagai pembatas ruang. "Ya? Kau belum tidur?"
Robi membuat ancang-ancang kemudian bergegas lari. Tangannya menumpu di atas pagar besi, tubuhnya melompati partisi. Lelaki itu tertawa setelah berhasil menyusup ke balkon privat kawannya. "Hai." sapanya sambil tertawa.
Sasha mengerutkan dahi, ingin melarang tapi sudah terlanjur datang. "Jangan berisik, Risa dan Vivi sudah tidur."
Robi menoleh ke dinding kaca yang ditenggeri hording putih. "Kurang tembus pandang, nih."
"Tidak usah pakai hording kalau mau tembus pandang." Sasha mengetus.
Robi tergelak, "Bercanda, bercanda. Kok belum tidur, Sha?"
Sasha mengendikkan bahu, mengambil tempat dan menjatuhkan diri ke sofa. "Aku baru selesai mencuci. Ah, Bayu bagaimana? Sudah baikan?"
Robi menyalin gerakan, ikut duduk seraya menjawab pelan. "Ya, alhamdulillah."
Atmosfernya terasa berubah. Mungkin karena malam hari Manchester di bulan desember menyeret udara dingin berlebih.
"Kenapa kau ke luar, Rob?" tanya Sasha, berniat membuka obrolan karena tiba-tiba Robi tampak seperti pujangga.
Meski tidak memamerkan kerlap-kerlip cahaya, Robi tidak bosan memandang angkasa. "Aku mau menikmati udara Manchester saja. Apalagi kita dapat fasilitas mantap seperti ini."
"Sama." gumam Sasha mengalih pandang, kini ikut mengadmirasi bumantara.
Kaus yang dikenakannya tidak ampuh menahan embus tak hangat. Meski berlengan panjang tapi Sasha merasa tangannya gemetar. Ia berniat untuk kembali ke kamar, namun saat melihat sudut pandang Robi yang tak biasa, Sasha tergerak untuk memutar posisi tubuh lurus ke arah Robi dan melontar tanya. "Robi, what happened?"
Lelaki jangkung menoleh, mengagah dan terdiam sejenak sebelum merespons. "Hanya ada kita di sini."
Sasha menyesal karena sudah bertanya. Rupanya lelaki di sebelahnya ini sedang bersandiwara.
"Ini malam yang mirip dengan malam saat aku meninggalkan rumah."
Kepalanya dituntut menoleh. Robi tidak melihatnya, seolah bicara pada horizon yang tidak menampilkan purnama. Tidak lagi menaruh prasangka, kini kehadiran Sasha murni untuk mendengarkan curahan Robi, meski dingin menyertai.
"Mau dengar ceritaku?" kali ini menoleh, menatap intens.
Entah dari mana Sasha merasa disengat listrik seketika. Tatap Robi yang tak biasa sekejap membuatnya gugup sementara. "Y-ya, boleh."
Robi tampak tenang menghirup udara, kemudian menyandarkan bahu ke punggung sofa. "Aku difitnah oleh keluargaku sendiri."
Tendensi Sasha penuh ke Robi, mendengarkan khidmat. "Kenapa?"
"Aku dua bersaudara, kakakku pewaris perusahaan Bapak yang tergolong besar di Palembang. Berkali-kali orangtua menuntutku untuk sempurna seperti kakakku, namun aku tidak bisa mewujudkannya. Aku adalah aku, dan aku sama sekali tidak ingin seperti kakakku. Masing-masing dari kami memiliki pelayan pribadi. Dan aku..." Robi mengulum senyum, mengendikkan bahu, "seharusnya tidak boleh, tapi aku tertarik pada pelayanku sendiri."
Sasha tersenyum tipis. Tadinya ia kira kisah Robi akan bercerita tentang rebellion, namun ternyata bergeser ke kisah romansa.