Bawa Aku Pergi

siucchi
Chapter #12

[ 12. Untuk Bahagia ]

Ini Indonesia, tapi Vivi tidak merasakan suasananya yang familiar. Ini salah satu rumah sakit di Jakarta, tapi rasanya asing, barangkali karena ia menolak untuk mengenali seluk beluk dalamnya.

Ia tidak pernah suka pada rumah sakit. Karena lebih rentan merenggut orang terkasih. Sangat andal membuat pengunjungnya mengidap khawatir tak karuan. Selalu ada saja yang dilontarkan perawat, mengatakan bahwa pasien akan baik-baik saja dan segera dirawat, tapi sesungguhnya mereka berjuang agar masa bergulir terlambat. Berlagak tak ingin menebar duka tapi menyembunyikan luka. Meski tahu sesungguhnya ada titik mati yang harus diakui bagi mereka yang merasa memiliki. Terkadang juga berperan sebagai konsultan bijaksana, tapi sesungguhnya ada lubang menganga yang sengaja disembunyikan hingga tiba waktunya.

Vivi sangat menolak rumah sakit dan sejenisnya. Lebih sering beralasan daripada harus menjejaki tiap inci lantainya. Aroma pekat yang selalu mengingatkannya pada luka kental yang kentara menebar teror. Seringkali ia berjuang mengusir diri, jauh-jauh menghindari bangunan apa pun yang menyimpan banyak orang luka, serta menutup diri dari memori abu-abu yang selalu mampir tanpa dipersila.

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo kembali disambanginya setelah sepuluh tahun terakhir. Sebuah lokasi yang tidak pernah ia niatkan untuk dijejak, apalagi menginap. Kondisi kritis salah seorang kawanlah yang memaksanya tiba, meski harus diseret oleh luka dan fakta bahwa Bayu sempat membisikkan namanya sebelum rubuh.

Tidak ada yang memberitahu kalau si penyeponsor travelling menderita luka serius, kanker paru-paru stadium lanjut. Tidak henti juga Vivi menyalahkan diri sendiri, meski tahu ia kadang melihat Bayu tertidur atau lemas seketika. Ia kira itu hanya sindrom yang biasa diidap orang kurus, tapi nyatanya Bayu bukan hanya keberatan mengangkut beban, tapi juga sisa hidup yang terkuras banyak lewat perjalanan mereka.

Di depan ruang ICU Vivi duduk di atas bangku panjang, menggaruk kepala frustasi. Kalau tahu lebih awal, ia tidak akan memaksa, kalau perlu tidak ikut saja sekalian. Keputusannya menunda keberangkatan hingga satu bulan justru membawa Bayu koma di ruang darurat.

Sasha, Risa dan Robi juga sama. Duduk gelisah menanti hadirnya dokter pribadi. Berharap mukjizat tiba dan membangunkan Bayu, kalau tidak bisa, sejenak saja. Hanya ingin melihat bahwa pria kurus pesakitan itu bahagia, dengan senyum dan kekehan yang selalu menghiasi harinya, seperti Bayu yang biasa.

Tangan Robi terangkat, merangkul Vivi, namun yang bersangkutan justru menepis, menggeser posisi duduknya menjauh. Sempat Robi menawarkan buku bacaan, namun wanita berkcamata tetap menolak.

Robi meneguk ludah, "Vivi, aku—"

"Diam." potong Vivi sinis.

"Aku harus melakukan ini—"

"Diam!" bentaknya keras, membuat semua orang yang berada di lorong ruangan menoleh, lalu tersenyum maklum.

Ini rumah sakit, ada banyak orang yang terluka. Menangis pun bukan masalah.

"Aku juga tidak tahu kalau akan begini jadinya!" tingkat suara Robi mengeras, Vivi terpaksa diam membiarkan. "Bayu tidak memberitahuku kalau dia menderita kanker! Dia hanya bilang punya penyakit dalam, dan kalau ada sesuatu langsung hubungi dokter pribadinya! Aku sama sekali tidak tahu kalau Bayu sendiri mengetahui sisa hidupnya tinggal sebulan lagi!"

Vivi mengangkat kepala, spontan membelakak ke Robi yang kini memburu napas. "Dia tahu?"

Sembari mengatur irama pernapasan, Robi melanjutkan. "Itu sebabnya dia merencanakan perjalanan ini. Dia mengajakmu yang pertama, berharap agar kau ikut. Bahkan setelah kau menolaknya berkali-kali, dia tetap teguh hingga masa hidup yang seharusnya sudah habis itu sukses diperpanjang. Kau tahu kenapa? Karena dia percaya bahagia mampu membuatnya bertahan melawan kanker, penyakit yang sudah mengerogotinya lima tahun terakhir... faktor kehadiranmu sangat mempengaruhinya, Vivi."

Vivi mengerutkan dahi, poni rambut dikibas miring, matanya yang sembab kini tertampak. "Kau tahu semuanya, tapi kenapa tidak lebih dulu memberitahuku?!"

"Dia melarangnya!" Robi balik membentak. "Aku juga ingin semuanya tahu, tapi dia selalu berkata, dia ingin kau ikut bukan sebagai orang yang bersimpati karena penyakitnya, tapi karena kau sungguh-sungguh mau menerimanya! Dia sendiri juga sudah berjuang keras. Selama lima tahun ini dia jalani berbagai pengobatan, kemoterapi, semuanya, tapi itu hanya menundanya meninggal cepat. Dia sudah tahu kalau yang seperti ini akan terjadi. Dia..."

Robi menarik napas panjang, "Ingin berakhir sesudah perjalanan, tapi ternyata tubuhnya tak kuat... dua minggu bersama kita—bersamamu terutama, memberinya harapan hidup. Kau, Vivi, apa kau tidak sadar? Jauh sebelum ayahmu bangkrut dan meninggal, Bayu pernah bertemu denganmu di China—saat kau ikut urusan bisnis apalah itu, tapi kau tidak sadar juga. Kau tidak pernah sadar, bahkan setelah kau menolak ajakannya hingga waktu penangguhan satu bulan." Robi menundukkan kepala, mengembuskan napas berat. "Vivi... itu semua yang kutahu.. maafkan lah dia, Vivi. Maafkan lah Bayu. Dia hanya ingin bersamamu, itu saja."

Material bening tak terbendung lagi. Vivi menangis sejadi-jadinya. Sempat ia meraung, namun dekap Robi beranjak menenangkannya. "Bagaimana mungkin..." isaknya keras, jarinya mencengkram kemeja Robi, "bagaimana mungkin aku tidak sadar...! Bagaimana mungkin aku lupa...! Bayu jelas berubah, aku mengenal seorang anak laki-laki yang gemuk, bukan kurus pesakitan...! Bagaimana mungkin aku bisa salah menerka...."

Robi menghela napas ringan, menepuk-nepuk punggung Vivi. Bola matanya bergulir ke bangku tunggu di seberang, memberi kode agar Sasha dan Risa ikut menenangkan. "Tidak apa, Vivi, tidak apa-apa. Kita harus berdoa agar Bayu baik-baik saja."

Dua gadis yang sejak tadi menahan tangis kini terpaksa meluber juga. Memeluk Vivi bersamaan, si gadis berkacamata ganti melepas Robi dan mendekap kedua temannya. Berusaha menyejukkan diri meski lukanya sudah meletup dan tumpah semua.

Sejak awal Sasha memang merasa Robi tahu semuanya; tujuan perjalanan, rahasia yang disegel mati, serta luka tersembunyi. Di permulaan pun Sasha merasa kunci kepergian mereka adalah Vivi, lambang mimpi Bayu yang berkarat. Sejak awal memang cintalah yang jadi tujuan utama. Cinta pada seseorang, pada impian, pada kebersamaan.

Mereka yang menghening, kecuali Vivi yang masih tersedu-sedu, belum siap pada kenyataan yang mengoyak batinnya jadi serpihan beling kaca.

.

Memakan waktu satu hari penuh sebelum kabar baru tersiar di telinga. Pada rentang waktu itu Vivi mogok makan dan pilih duduk menunggu, Robi berjalan-jalan di sekitaran rumah sakit untuk membeli perbekalan—sambil mengeluh di Jakarta mahal-mahal, Risa mengajak Sasha berjalan-jalan walau harus kembali ke tempat Vivi setiap satu jam sekali.

Di jarak waktu itu pula sempat terjadi perbincangan antara Sasha, Risa dan Robi. Di kantin rumah sakit mereka membicarakan Bayu dan masa lalu. "Sepengetahuanku hanya itu, tidak ada lagi. Setelah mengajak Vivi, dia ke Palembang menjemputku, lalu kami kembali ke Bandung lagi, tapi ditolak Vivi. Datang lagi, ditolak lagi. Terus begitu sampai kita ke Jogja dan menjemput Risa."

"Dan aku?" Sasha mengernyit, "ah, ya, bagaimana cara Bayu menemukan kita?"

Robi terkekeh. "Sosial media, tentu saja." sepotong ayam bakar digigit, "aku, kamu, kita, pernah update tentang luka patah hati, hahaha. Lalu dia sortir... dia pilih yang tepat, dan didapatlah kita... duh, jadi malu."

Dua gadis saling melontar pandang, mengingat aib yang tersebar di beranda sosial media, kemudian ikut tertawa.

"Akhirnya aku juga yang menjelasan, kukira akan Bayu sendiri, haha." lanjut Robi enteng.

"Tapi, bagaimana?" Risa mengerutkan dahi. "Itu memang benar, tapi aku tidak update curahan hati di timeline—hanya sekilas, apalagi menyebut-nyebut tentang keliling dunia. Bagaimana aku—kita bisa terpilih untuk perjalanan gratis ini? Sasha sendiri bagaimana?"

Sasha menggeleng pelan, "Sama, aku tidak sefrontal yang kamu maksud. Paling hanya... menulis sesuatu seperti... yah, korosi pada mimpi..., begitulah."

Satu alis Robi terangkat, "Begitukah? Aku tidak tahu kalau itu. Mungkin karena kalian menyisipkan location yang tepat di sosial media jadi mudah ditemukan."

Sunyi sejenak.

"Benar, sih." Risa mengangguk setuju, meraih gelas dan menggeser sedotan, lalu meneguk air es jeruk.

"Tapi ini belum menjelaskan semuanya," Sasha mencondongkan bahu, "kau bilang waktu itu Bayu melihatku di Jogja saat menjemput Risa, bagaimana dia tahu itu aku? Location sosial mediaku Jakarta, di Jogja aku sama sekali tidak online. Bagaimana kau menjelaskan itu?"

Robi menggaruk tengkuk, kebingungan. "Aku tidak tahu... tapi kita semua tahu, kan, Bayu itu stalker hebat, kurasa itu cukup menjelaskan."

Diam sejenak sebelum Sasha menyandarkan punggung ke kursi. "Stalker, ya, oke."

Tersisa bunyi denting antara sendok dan piring kaca, dilanjut dengan bunyi samar kunyahan pada geraham yang bertugas. Para pengunjung yang telah menghabiskan santapan beranjak pergi, petugas kebersihan merentangkan kain lembab dan merapihkan sisa, lalu kursi itu diganti dengan pelanggan lain.

Pusat perhatian pada hal sepele dipecah oleh gumamam Risa yang tampak ragu bersuara. Ia beberapa kali membuka mulut, namun tidak bertutur kata. Barangkali ia khawatir yang akan diungkapnya terkesan lancang dan tidak sopan.

Menyadari kebingungan itu Sasha melirik, "Kenapa?"

Risa menoleh, bola matanya bergulir gelisah, "Ini tidak penting, sih... tapi... aku penasaran...."

Robi menjeda acara lahap makannya, menatap lurus ke kawan di hadapan. "Apa? Tumben bimbang."

Sendok diletakkan ke atas piring, Risa mengembuskan napas. "Aku penasaran saja... biaya penyembuhan kanker—apalagi stadium lanjut—itu kan mahal, ya... tapi Bayu masih punya uang sebanyak itu untuk membiayai kita... maaf, aku tidak bermaksud apa-apa...."

Sasha mengulum senyum, pertanyaan itu juga sering menggentayangi benak.

Robi mencubit dagu, tatapnya mendongak ke langit-langit. "Aku tidak tahu pasti, sih, hanya saja Bayu pernah sekilas mengungkit itu. Orangtuanya kaya, keturunan buyutnya itu kaya semua. Begitulah, dia keturunan keluarga ningrat, hahaha."

Yang mendengarkan mengangguk paham. Faktor genetik penyebab utamanya, dan terputus di Bayu—yang tidak memiliki keturunan.

Sasha menutup alat makannya di piring, kemudian menarik napas panjang. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, karena sempat berkeliaran...."

"Hahaha, dapat saja kamu, Sha. Bule, keturunan bangsawan lagi." Risa mengekeh. Sasha sempat mernceritakannya di perjalanan pulang.

Robi mengendikkan bahu. "Bangsawan? Wow."

"Ya, lucu juga, sih. Dia masih kecil, hahaha." tanpa sadar Sasha tertawa. Mengenang masa-masanya bersama James di Bath. Ia menyesalkan janji yang pernah dilontar James sepihak, sebab keesokan harinya ia tidak bisa ke istana kerajaan. Mungkin setelah media komunikasinya aktif, Sasha akan menghubungi James lewat jejaring sosial.

Tidak butuh waktu lama sampai kesadaran balik ke jiwa, tangannya difungsikan menutup mulut. "Maaf, maksudku... kenapa tiba-tiba Bayu bisa ambruk?"

Robi mendelik, namun tetap menjelaskan. "Tadinya kukira pingsan, tapi karena ada gejala sesak napas dan hilang kesadaran, aku jadi teringat pesan Bayu untuk menghubungi dokter pribadinya. Kalau aku tidak salah ingat, kanker paru-paru itu kan menyebabkan terganggunya pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam darah. Penderita bisa saja koma karena gangguannya sudah sampai ke sel syaraf otak... begitulah, Vivi pasti lebih bisa menjelaskan, nih."

"Vivi masih setia menunggu," sahut Risa cepat, "tapi kenapa Bayu bisa kena kanker paru-paru?"

"Rokok, kah?" tanya Sasha mengangkat alis.

Robi mengangguk. "Dulu Bayu perokok berat, berhenti sampai lima tahun yang lalu sejak dia mulai terapi pengobatan. Lalu karena tidak kemoterapi lagi, kanker itu menggerogoti lebih ganas lagi... tapi, Bayu sendiri sudah siap, sih. Ada alasan kenapa dia mengajak kita semua jalan-jalan, pasti ada alasannya."

Senyum tipis diulas. Memang, selalu ada alasan yang menyertai di balik peristiwa.

.

Lihat selengkapnya