Derap langkah bersaing dengan gesekan rotasi roda di atas lantai putih. Para perawat yang mendorong ranjang menyahut-nyahut dalam gumamannya. Sebagian memasang topeng ekspresi, yang lainnya tak mampu menahan panik. Ekor mata Sasha menangkap kesibukan yang baru saja lewat. Di tengah beratnya bulumata terangkat ke atas, angka pada jam digital di pergelangan tangan ikut tersorot.
Jam tiga dini hari. Semesta memang tahu caranya memanggil. Ia lantas menarik diri dari dekapan sofa dan merenggangkan tubuh. Risa dan Robi masih terlelap di sampingnya, Sasha mengulas senyum tipis dan beranjak menjauhi sofa. Ia berniat menunaikan sholat malam, tapi hendak menjenguk Bayu terlebih dulu.
Dahinya berkerut kala mendapati pintu ruang rawat khusus Bayu terbuka. Sasha melangkah mendekat, menuang pandang ke sekitar—siapa tahu ia dikira penyusup yang jadi tersangka atas peristiwa di kamar Bayu. Hingga pangkal sepatu sampai di ambang pintu, Sasha mengintip. "Vi? Bayu?"
Lengang. Tak ada ranjang maupun eksistensi orang di dalam. Sasha sontak membelakak, sepenuhnya sadar dari sisa kantuk yang bersarang. Benaknya memutar memori, mengingat-ingat, di mana terakhir ia melihat Bayu dan Vivi selain ruangan yang jadi TKP akad nikah kemarin sore.
Roda, sibuk, perawat, semesta.
Ia terlonjak, langsung bangkit sebab mendengar suara gaduh yang lewat. Direksi kakinya berputar dan langsung mengikuti arah suara. Kembali ke sofa dan membangunkankan kedua teman. Robi dan Risa spontan sadar karena Sasha memukul-mukul tak santai.
Masih setengah tidur Robi dan Risa mengecek kamar, namun hasilnya sama seperti penjelasan Sasha barusan. Ketiganya sepakat untuk berlari ke ruang ICU dan mendapati pintunya dikunci dari dalam. Risa terikut panik, mengetuk-ngetuk pintu sambil memanggil Vivi dan Bayu.
Robi memijat kepala, "Kemungkinan masih baru. Kemungkinan kamu terbangun karena suara Bayu dibawa kemari, Sha. Kemungkinan begitu." ujar Robi, intonasinya tak karuan.
Semuanya gelisah. Masih ada kejutan bersisa. Yang di dalam ruangan sudah pasti Bayu. Sebab Vivi sama sekali tidak memberi kabar—yang berarti kondisinya darurat hingga dia tak sempat membangunkan.
Risa memejamkan mata, kedua telapak tangannya terkepal erat. Sasha tahu kedua temannya sedang teguh memanjatkan doa dan berharap penuh untuk kesehatan Bayu. Semoga Bayu baik-baik saja dan kembali ceria sedia kala.
Butuh waktu hingga satu jam sampai ruang ICU dibuka oleh seorag gadis dikenal. Mukanya kusut, tepi mata memerah. Kacamata yang bertengger di atas kepala ditahan oleh rambutnya yang awut-awutan. Tatapnya melayang, menerawang, menembus awang-awang.
"Vi! Vi! Ada apa?!" Risa menerjang sang kawan, mengguncang bahu Vivi, tingkat kepanikan melonjak naik melewati batas wajar.
Robi dan Sasha juga sama. Masing-masing menyentuh Vivi, menanyakan kabar Bayu yang ditinggal di dalam ruang ICU. Namun Vivi tidak menjawab, tidak juga balas menatap mata para penanya.
Tahu bahwa Vivi tak bisa diandalkan sebagai sumber informasi, Robi menerobos masuk ke dalam, Sasha mengekor di belakang. Risa menuntun Vivi duduk di sofa, kemudian ikut masuk ke dalam ruangan. Mendapati sejumlah perawat sedang berdiskusi, sebagian lain menyibukkan diri pada peralatan medis, sebagian lain berdiri di sisi ranjang pasien sambil mengulas senyum datar ke arah tiga pendatang.
Perawat wanita yang menunggui Bayu lantas menurunkan kain yang menutupi wajah pasien, mengisyaratkan pada Robi, Sasha dan Risa untuk mendekat. Patient Monitor di belakang si perawat tidak menunjukkan bentuk rumput berjalan, melainkan garis horizontal yang melaju stagnan, tanpa niat membentuk garis vertikal ke atas maupun miring ke bawah.
Tiga pasang kaki berlomba tiba di sisi ranjang. Pipi tirus dan kepala yang tampak tercetak kerangkanya menjadi sorotan utama. Namun di tengah pejaman mata, bibir pucat itu tampak mengulum senyum tenang. Gerak hidungnya tidak lagi sama, yang sekarang sama sekali tidak butuh masker oksigen maupun udara bahagia agar bisa bertahan.
Kaki Risa melemas, tubuhnya terjatuh ke bumi dengan keras. Raungnya menggema di seisi ruangan. Memukul-mukul kaki ranjang pasien, dilanjut dengan menghentakkan keningnya ke rentang besi penopang ranjang. Berteriak memanggil, tidak keras, namun sampai seraknya berubah bisikan merana.
Sasha menyentuh pipi Bayu, memanggil-manggil namanya berkali-kali. Merasa diabaikan, kini tangannya menepuk-nepuk, hampir keras. Berkata agar Bayu segera bangun sebab Vivi menunggu di luar sana. Semua orang menanti, karena itu Bayu harus sadar dan kembali tersenyum seperti biasa.