Dunia tidak seindah seisinya. Tidak semengagumkan karakteristiknya. Begitu gelap. Tanpa kilat cahaya, maupun setitik sinar yang menerobos masuk dari tutup lubang karat.
Ia ingin pergi.
Yang jauh,
jauh sekali.
Sampai tak ada lagi yang mengingatnya.
Sampai tak ada lagi yang mengenalnya.
Agar ia sendiri yang menyimpan kenangan. Mengeratnya dalam benak dengan simpul mati agar tidak tercerai. Biar ia sendiri yang menanggungnya.
Rasa sakit dan beban hidup—entah sampai kapan ia harus menangis,
menangis yang keras,
sampai air matanya kering, sampai perihnya membutakan.
Sampai semuanya selesai hanya dalam satu isakan.
Sampai ia melupakan segala.
“Dalam tiga ratus meter, belok ke kiri menuju jalan raya—“
Gemerlap cahaya menyelimuti jalan-jalan, berupaya mempertahankan cerah meski malam telah datang. Gelap tidak menuntun orang terlelap. Tidak membuat hati jatuh. Tidak berpengaruh apa-apa pada antrean mobil di sepanjang jalan. Begitu sunyi dari sahut-sahut klakson, seolah tahu kapan waktunya menunggu.
Menunggu untuk bergerak. Untuk berjalan. Untuk melupakan.
"Mbak, sudah lama tinggal di Jakarta?"
Tatapnya teralih ke driver di depan. Memandang sepasang sorot lampu mobil yang berbaris menunggu antrean, baru kemudian menjawab, "Ya, dari lahir sudah di Jakarta."
Terdengar dehaman pelan dari pria paruh baya yang bertugas menyetir, "Begitu, ya... benar-benar tidak ingat alamat rumahnya atau bagaimana?"