Setumpuk buku fiksi disusun ke pojok, sebelahnya diisi dengan lipatan sejumlah pakaian. Semua barang ditata rapih mengisi koper besar. Tatapnya mengalih ke sebuah kotak yang tersapu di sudut lemari, ia membungkuk dan meraihnya. Membuka tutup dan memandang isi, memanggil kembali kenangan yang nyaris terbengkalai.
Jari-jarinya menggeser sebongkah barang, menyisipkan kotak kecil di antara himpitan peralatan mandi. Menutup dan meresleting tas besar, lalu mengangkatnya ke atas lemari dengan sedikit perjuangan.
Pintu dibuka, Sasha buru-buru turun dari bangku pijakan.
Seorang gadis memandang, lalu mengitar isi kamar. “Berbenah? Sekarang?”
Ia mengangguk, menutup pintu lemari dan menghampiri pendatang kamar. “Ya.”
“Tapi kita, kan, mau ke rumah saudara.”
“Sepertinya kakak libur dulu,” Sasha mengendik bahu, menengok ke seisi kamar, “yah, tanggung. Sudah terlanjur membersihkan kamar, masa’ mau ditinggalkan. Ini akan lama.”
Mata si gadis terpanggil ke arah lemari, jarinya menunjuk ke objek dimaksud. “Yang di atas lemari?”
Sasha lekas menyembunyikan kaget dan mengangkat bahu, “Aku sedang membersihkan kamar, kan. Ini belum selesai. Ada beberapa barang yang kupindahkan.”
“Bukan itu,” dibalas mendengus, “Kakak suka sembarangan, aku tidak suka kalau penataannya aneh.”
Sasha meringis, “Aku mengerti. Jadi, bisa kau pergi sekarang? Aku sibuk.”
“Jadi Kakak tidak ikut? Biar kusampaikan ke Ibu.”
“Ya, tidak.”
Si gadis pergi, Sasha lekas menutup pintu dan memutar kunci. Ia baru sadar telah lupa menyegel kamar. Untung Dira—adiknya tidak terlihat curiga.
Handphone di atas kasur lekas diraih. Usai membaca pesan ia menekan sebuah ikon di sisi kanan bawah dan mendekatkan mulutnya ke speaker, “Ya, jangan bilang siapa-siapa kalau aku pergi. Tempatnya tidak akan kukasih tahu, ibuku mengenalmu, aku percaya padamu tapi bisa saja khilaf. Aku akan baik-baik saja, kukabari kalau sudah sampai nanti.”
Voice note dikirim.
Ia melanjutkan packing barang tanpa mengosongkan lemari. Setidaknya ada beberapa potong memori yang bisa ditinggalkan, tanpa perlu diangkut dan menjadi beban perjalanan.
.
Usai melepas kepergian keluarganya lewat ambang pagar, Sasha mengunci pintu dan bergegas menaiki tangga. Menuju kamarnya, menggeser kursi kayu sebagai tumpuannya agar memijak lebih tinggi, mengangkut koper besar dan menyeretnya menuruni anak tangga. Sesekali mengangkatnya agar tidak banyak menimbulkan suara.
Karena tidak mungkin ia membawa koper sendirian, maka ia manfaatkan teknologi dengan segala kemudahannya. Memesan ojek dari aplikasi smartphone, memintanya membawakan koper ke jasa pengiriman yang terletak cukup jauh dari rumah.
Kemudian ia kembali ke kamar, tatapnya mengitari ruang, mengingat-ingat apalagi yang perlu diterbangkan segera. Agar ia tidak susah memboyong beban dalam perjalanannya.
Sebuah panggilan menginterupsi. Sasha menarik slide hijau pada layar handphone. “Ya, Pram? Ya, ini mau dikirim ke tempatmu. Paling dua sampai tiga hari. Ya, aku berangkat malam ini, Insya Allah. Sip, makasih, ya.”
Ia menghela napas, lalu menarik sebuah tas gendong di atas meja. Membuka resleting, menerka isi, lalu menutupnya kembali. Derum mesin menyahut dari bawah, Sasha mengintip dari jendela, mendapati yang dipesan tiba.
Ia turun, kemudian menyeret koper dan membuka pagar.
Sang driver berjaket hijau menyambutnya dengan senyum sekaligus tanya, “Mbak Sasha?”
Koper didorong hingga ujung roda menyentuh aspal jalan, “Ya. Ini paket tolong dibawa ke jasa pengiriman barang. Alamatnya sudah ada, Mas.”
“Siap, Mbak,” jawab si pengemudi sambil mengangkat koper. Mengeluarkan sebuah tali dari dalam tas dan bersiap mengikatnya.
“Apa Mas-nya selalu bawa tali? Sudah persiapan?”
Si pria tertawa, “Karena dapet order-annya begini, saya pulang dulu ke rumah buat ambil tali. Kebetulan rumah saya di dekat sini.”
Sasha mengangguk-angguk, “Aku mengerti. Baiklah, terima kasih sudah mengantarkan, Mas. Ini uangnya, dan ini biaya kirimnya. Aku sudah survey sebelumnya, insya Allah cukup ini, mah.”
Driver ojek online menerima sodoran biaya. Setelah memastikan titipannya direkat kuat, ia pergi dengan dua patah kata. Sasha kembali masuk ke dalam tepat ketika perutnya orkestra minta diasup santapan bernutrisi. Menuju dapur, membuka kulkas, menarik tudung saji di atas meja, lalu menyiapkan makan siang.
Ia terbiasa sendiri dan akan sendirian di kemudian hari.
.
Malam tiba sesuai yang dinanti. Keluarganya telah pulang kembali ke peraduan dan beranjak terlelap sesuai keinginan alam. Sasha turun ke bawah untuk megecek ada siapa di dapur, sebab ia harus melewati dua ruangan untuk sampai di pintu depan. Berbarengan dengan bunyi gesek pintu yang digeser, Sasha melihat Dira baru saja masuk ke kamarnya.
Ia menghela napas dan kembali ke kamar. Menyibukkan diri dengan handphone sambil chat dengan Pram, penghuni kosan yang akan jadi tempatnya bertandang sementara. Ia beruntung punya teman yang merantau jauh dan memahami siapa yang dirindu.
Pukul tiga dini hari.
Sasha sudah menggendong tas besar dan mengendap-endap. Menuruni tangga perlahan dan berjalan menuju pintu depan. Bergabung dengan senyap dan berhati-hati memutar kunci, semampunya meminimalisir suara. Seusainya ia lanjut ke tantangan kedua, memanjat pagar.
Ada kunci cadangan yang sengaja ditimbun di bawah sepatu. Sasha menuju rak dan memanfaatkannya untuk mengunci pintu, sebelum akhirnya ia letakkan tas di atas dinding pagar dan buru-buru memanjat. Baru menongolkan kepala, tampak sesosok pria berjalan di kejauhan. Sasha sontak melompat turun dan menarik tas gendong ke pelukan.
Membuat suara.
Irama napas mendadak ditahan.
Terdengar suara langkah kaki mendekat, juga dehaman dari arah kamar orangtua yang berjarak tiga meter di depannya.
Sasha menuju pot kembang untuk sembunyi, pada langkah pertama ia membuat suara dan kini cemas jika ada eksistensi lain yang sadar akan presensinya.
Jejak sepatu mendekat ke pagar, Sasha tahu itu Pak Tio yang rutin tugas ronda malam. Dalam hati harap-harap-cemas, semoga kang ronda itu segera pergi dan abai saja terhadap kecerobohan yang terlalu sering dilakukannya.
Siluet di balik pagar mendekat, mungkin berusaha mengintip. Sasha memutar tubuhnya, bersatu di antara dedaunan, sembunyi seperti pencuri yang menyusup masuk ke rumah warga. Padahal ia hanya tidak ingin kepergiannya disaksikan orang yang dikenal.
Satu menit, siluet itu menjauh. Syukurlah pak Tio menyerah, kalau tidak peluangnya kabur akan menyempit. Sasha menunggu hingga sosok peronda itu menjauh, lalu kembali melanjutkan aksinya. Menaikkan tudung jaket, memanjat pagar dan menggendong tas besar, kemudian melangkah pergi. Berlari ke luar gang, menyusuri jalan raya, bergabung dengan masyarakat ibukota yang masih hidup meski larut sudah merengkuh malam.
.
Ia berjalan hingga terminal bus. Berbaur dengan beberapa calon penumpang yang juga sama menunggu. Mayoritas membawa tas besar seperti Sasha. Ia mengerti, yang menunggu kendaraan umum di dini hari kebanyakan orang berpergian jauh. Entah mengunjungi kerabat, pulang ke kampung halaman, atau pergi untuk dilupakan.
Satu persatu bus jurusan luar kota datang. Tapi yang dinanti belum juga tiba. Sasha dipaksa sabar menanti. Ia cek kembali persediaan barang di tas dan mengeluarkan sebuah handphone. Tombol power ditekan sekali, layar tidak menampilkan gambar. Sasha juga tidak ada niatan untuk mengaktifkan alat komunikasi sebelum sampai tujuan.
Hampir satu jam setelah penantian, bus berwarna putih-biru menepi ke pinggir jalan. Sasha meneliti tulisan ‘Sumber Alam’ yang terpahat halus di sisi kendaraan dan meyakini ia tidak salah naik bus. Sejumlah calon penumpang bergegas masuk melewati pintu yang dibukakan kenek. Sasha lekas menaiki tangga dan mengambil tempat. Bus begitu sepi dan lengang. Hal yang pertama dilakukannya adalah menaruh tas di depan jok dan duduk menempel ke jendela. Ia menatap sisa penumpang yang baru naik, siapa tahu ada yang minat duduk di sampingnya.
Tapi karena kendaraan umum yang tergolong murah ini akan jadi wadah perjalanan jauh, masing-masing memilih sendiri.
Sasha duduk sendiri hingga terminal berikutnya. Dan ia sama sekali tidak terganggu. Sendiri bukan berarti sepi.