Desa Mertosari-Timur Jawa, 1955
Bawon berjongkok menggaruk-garuk tanah dengan ranting kayu. Gadis kecil itu tidak sedang menggambar. Dia menggali sesuatu yang belum ditemukannya, sebagaimana matanya mencari jawaban.
Pandangannya memilah orang-orang nun di sana itu yang sedang mondar-mandir memenuhi rumah. Satu demi satu wajah orang yang dikenalnya dipisahkan, sisanya dia catat dan sisihkan diam-diam dalam ingatan. Bawon masih belum teralihkan. Dia mencari penanggung jawab atas perkara yang baru saja berlangsung; di antara mereka yang sedang meributkan air, mempermasalahkan tempat mandi, dan memperdebatkan tanah kubur.
Bapaknya hari itu mati.
Jasadnya sedang dimandikan. Di sebuah tempat berpancang tikar disangga bilah-bilah bambu di samping rumah. Terlihat seorang lelaki menyetor seember demi seember air yang dibawanya dari pancuran kepada orang di balik tikar. Ember itu kembali dalam kondisi kosong untuk diisi lagi.
Sementara lelaki lain mengatur kursi-kursi agar para pelayat bisa singgah sejenak; mengirimkan sepenggal yasin atau sekadar memasang kuping untuk mendengar berita yang terlewat. Gelas-gelas teh panas diedarkan untuk sedikit memperlama duduk mereka. Juga agar perempuan-perempuan di dapur punya waktu menyalin baskom-baskom beras dan gula yang mereka bawa.
Sempat Bawon dengar seseorang berseru supaya bapaknya dirapikan segera. Hari sudah tinggi. Tak baik mengulur waktu penguburan. Bawon sepakat. Dia ingat suatu hari dulu saat menemukan bangkai babi di dekat kebun tebu, Capung pernah bilang, bangkai harus cepat-cepat ditanam agar tak disantap belatung. Jadi, dia setuju kalau Bapak secepatnya harus ditimbun.
Bawon tahu, setelah Bapak masuk ke dalam tanah, mata, daging, dan kemaluannya akan dimakan cacing. Seperti juga bangkai babi. Mayat Bapak sudah jatah cacing, sekali-kali jangan belatung menggarapnya lebih dulu. Bawon tak ingin sisa-sisa darah dari luka di badan bapaknya menjadi tempat hajatan bernga.
Maka digaruknya tanah lebih dalam, dicungkil-cungkil sampai cacing tanah yang dicarinya keluar dari persembunyian, biar kukubur bersama Bapak nanti, pikirnya.
ooOoo
Dua tumbak lah kira-kira jaraknya dari Bawon berjongkok.
Dua perempuan paruh baya mengemas gelas-gelas belimbing berwarna cokelat, mencuci dan mengelapnya. Masing-masing bernama Yu Lasmi yang badannya gempal, seorang lagi biasa dipanggil Si Pur lebih muda dan lebih singset. Sejak pagi mereka berdua tak habis-habisnya ngrasani nasib sial tetangga sebelah rumah.
“Tak bisa kubayangkan nasib anak itu Pur,” ujar Lasmi.
“Ho oh, sudahlah bapaknya mati eh ketambahan simboknya pula minggat,” timpal Pur.
“Masa iya suami seda malah minggat Pur, kamu ini jangan menambah-nambah cerita”
“Lha, kalau tidak minggat lantas kemana, balas dendam?” ejek Pur tak terima disangka membumbui lodeh yang sudah asin.
“Ssssttt… jangan keras-keras,” sergah Lasmi sambil melihat kanan kiri.
Meski tidak ada siapa-siapa, tetap saja Lasmi merasa tak nyaman, “Aku takut ada kejadian lanjutan Pur.”
“Kejadian lanjutan bagaimana maksudmu Yu?” ganti Si Pur yang bigung.
Yu Lasmi buru-buru menggelengkan kepalanya. “Ora,”katanya.
“Bawon maksudmu?” kejar Pur.
Yu Lasmi mengangguk pelan, "Bagaimana kalau kelak anak itu membalas dendam?"
“Tak terhindarkan Yu,” ucap Pur terpotong, setelah menutup keran dan mengangkat gelas-gelas bersih ke atas meja baru dia melanjutkan, “semua orang di desa pun tahu siapa yang membunuh Si Bendol.”
“Hush! jangan bicara sembarangan,” tegah Lasmi.
Pur berkacak pinggang, “Bawon itu melihat sendiri Buang membunuh Bapaknya.”
ooOoo
Enam bulan sebelumnya…
Orang-orang memanggilnya Buang. Tak seorangpun tahu namanya yang sebenar. Mungkin mereka terlanjur gentar untuk sekadar menanyakan. Jauh sebelum Buang menjadi sinder di pabrik gula, namanya sudah tenar. Seringkali diam-diam dipinjam para orangtua sebagai senjata menghadapi anak-anak.
Kabar berembus bilang dia datang dari daerah di pesisir utara Jawa. Dibawa langsung oleh orang berpengaruh untuk membenahi banyak urusan di Jombang. Utamanya sengketa gelap pabrik gula di Mertosari. Ada pula yang mengatakan kalau dia sebetulnya berasal dari tlatah tengah, merantau demi suatu peruntungan. Mana saja, tentulah hanya Buang sendiri yang paling tahu.
Satu hal yang agaknya bisa dipercayai, ceruk bekas luka di bawah matanya menjadi tanda bahwa apa yang dia kerjakan bukanlah hal-hal biasa. Tambah pula cambuk dan celurit yang selalu terselip di pinggangnya.
Buang sengaja membiarkan orang-orang menganggapnya seperti ringin keramat. Lebih menguntungkan baginya. Tak ada yang akan mengganggu dia, kecuali hendak mencari perkara.
Seperti pagi ini. Dia hanya perlu menyaru serupa gupolo. Berdiri diam di muka gerbang pabrik mengawasi kedatangan para pekerja. Dia tahu setiap gerak dan gerik. Seolah bulir-bulir embun yang masih menggantung di pucuk-pucuk daun sebagai telik sandinya, tempat anak-anak mata Buang meninting dan mengintai rupa-rupa kelakuan. Meskipun demikian, ada saja yang memancing-mancing perkara. Berjalan lamat-lamat semacam keong dibebani cangkang. Atau seperti yang di sana itu, menyeret cangkul dan menyisakan satu jalur panjang di jalanan. Entah apa maksud tujuannya. Yang begitu-begitu Buang tak suka. Pabrik gula dan kebun tebu ini tempat bekerja, bukan area main kanak-kanak. Tingkah semacam inilah yang membuatnya murka.
Tidak, dia tidak akan berteriak seperti laku mandor kebanyakan. Bukan mulut Buang yang akan berbunyi, pecutan cambuknyalah yang akan memberi jeri. Kau lihat saja nanti.
ooOoo
Capung, Sendok, dan Bawon hafal betul kapan saja perlu menghindari Buang. Sampai dengan pukul tujuh tiga puluh, Buang masih menjadi Gupolo di muka pabrik. Nanti ketika lonceng sudah berbunyi tiga kali, artinya Buang akan mulai memandori buruh-buruh tani di sekitar kebun. Kalau loncengnya empat kali, Buang akan naik ke lori bersama tebu-tebu yang sudah dipanen dan mulai mengawasi situasi di dalam pabrik. Kalau lonceng berbunyi lima kali, artinya Buang akan mulai menyisir kebun tebu yang belum dipanen. Itulah saatnya mereka minggat!
Capung dan Sendok berkejaran meninggalkan Bawon.
“Tunggu aku! Atau kubuang semua gleges ini,” Bawon menghardik.
Capung dan Sendok tak menghentikan langkah, mereka berbisik-bisik jangan sampai mereka kedapatan kawan-kawan lain sedang bermain dengan anak perempuan.
“Jalan terus,” bisik Capung, “malu kita kalau ada yang lihat.”
“Tapi hanya dia yang bisa bikin pelantak,” bisik Sendok sambil melirik ke belakang, ”ngambek dia nanti, beneran dia buang glagah kita nanti.”
Capung ikut melirik, dia melihat Bawon bersiap-siap membuang glagah. Tak ada pilihan lain selain menuruti anak perempuan itu.
“Kalian membicarakan aku?” Bawon menatap mereka satu persatu. Keduanya segera menggeleng.
“Cepatlah kalau jalan!” hardik Capung sambil melambatkan langkahnya.
Tepat setelah Bawon berada satu langkah di belakang, Capung kembali mempercepat jalannya. Sendok mengikuti, Bawon berusaha mengimbangi.
Ketiganya melanjutkan berjalan, sesekali saja mereka bicara. Sampai akhirnya mereka berhasil menembus kebun tebu dan masuk ke dalam Hutan Brambang. Setelah tiba di sebuah pohon yang lebih besar di antara pohon-pohon lainnya, Bawon melepaskan kembang tebu yang sedari tadi dia peluk. Ketiga mereka duduk mengitari tumpukan gelagah.
Tanpa komando, masing-masing mengambil peran. Bawon mengeluarkan pisau lipat yang senantiasa dia bawa dan jadikan kalung, lalu mulai menyayat batang-batang kembang tebu dan membentuknya menjadi pelantak. Sedang Bawon sibuk membuat senjata untuk bermain perang-perangan nanti, Sendok mengumpulkan ranting, lalu Capung berburu belalang atau apapun yang bisa mereka bakar.
Ranting terkumpul, tanah digali, dan ditambahkan daun kering lalu dibakar. Tak lama Capung kembali dengan seekor tupai dan sebungkus daun keladi berisi belalang kayu. Berdua Sendok, Capung menyiang belalang, mencabut sayap dan membuang kantung empedunya sebelum dibakar. Sedang Bawon masih mengerjakan pelantak untuk mereka, dua yang sudah beres, dan satu lagi sedang dibuat. Satu yang terakhir itu terlihat lebih istimewa dibanding dua sebelumnya. Ada semacam ukir-ukir dari lilitan batang gleges yang lebih halus. Sendok terkagum-kagum melihat karya tangan Bawon.
“Pasti punyamu yang paling bagus,” ujar Sendok pada Bawon, sambil tangannya memisahkan belalang-belalang yang sudah matang.
Bawon diam saja seperti tak mendengar yang diucap Sendok. Baru setelah pelantak di tangannya benar-benar jadi, dia berkata, “Kau mau?”
Mata Sendok berbinar-binar meraih pelantak di tangan Bawon. Bawon segera mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Tidak cuma-cuma,” ucapnya.