Bawon, Buang dan Tonggak-Tonggak Kejadian

Soerja HR Hezra
Chapter #3

Hasutan Buang

Karung-karung gula diangkut di atas pundak para buruh satu per satu. Bandi termasuk yang ambil bagian sebab pekerjaan di kebun sudah dia bereskan lebih dulu. Tidak semua buruh di kebun dipanggil membantu menjadi juru panggul. Hanya yang dianggap layak oleh Buang saja yang diperkenankan. Dia sendiri yang menentukan dengan pertimbangannya sendiri pula. Buruh-buruh kebun akan senang ketika mereka dipanggil naik memindahkan karung-karung gula, berlomba kalau perlu. Mereka menganggap diri beruntung. Tiap karung punya harga, makin banyak karung yang bisa dipanggul ya semakin banyak uang bisa dikumpul. 

Diam-diam, Buang punya kesepakatan kepada mereka-mereka yang merasa beruntung ini. Termasuk juga dengan Bandi. Upah yang bakal dibayarkan pabrik kepada mereka, sepertiganya menjadi milik Buang. Tidak ada yang keberatan, toh mereka tetap dapat duit, kendati berkurang. Upah tenaga mereka tak punya patokan harga, kalau ada yang mau menukarnya dengan rupiah ya mereka terima saja. Meski disunat Buang, tak jadi soal.

“Sebentar lagi orang-orang Tuan Tjitro datang, pastikan kau mengecek kembali, hitung dengan benar sebelum dibawa mereka,” seru Buang pada Mubarok.

“Inggih Kang,” Mubarok menunduk takzim.

Buang mendekatkan tubuhnya pada Mubarok, lalu menimbang sekitar sebelum berbisik, “Sudah kau kerjakan yang kubilang waktu itu?”

“Inggih, sudah seperti biasa kang,” jawab Mubarok yakin.

Buang menarik lagi tubuhnya, “Siapa saja yang membantumu?” katanya tiba-tiba. 

Spontan Mubarok mengangkat kepala dan memandang Buang sebelum akhirnya menunduk lagi.

“Ampun Kang, saya mengerjakannya sendiri,” suara Mubarok tertahan, matanya diedar ke kiri dan kanan, menjaga suaranya tak terbawa angin. 

Buang tertawa. Kemudian dia menepuk-nepuk pundak Mubarok lalu pergi. 

Yang ditinggal mengurut-urut dada. Mubarok bersyukur dia telah berhasil lulus ujian. Bergegas dia membereskan kantong-kantong pasir yang isinya sudah dia oplos ke dalam karung-karung gula. 

ooOoo


Sebentar saja Tjitro menemui pejabat-pejabat pabrik. Pengusaha berdarah Tionghoa itu tak suka basa-basi terlalu lama. Hanya menghabiskan waktunya saja. Terlalu mahal jika harus ditukar dengan mendengarkan bualan. 

Buang sudah menunggunya di dalam cikar. 

Meski Buang tak begitu diperhitungkan oleh orang-orang yang tadi ditemuinya, tapi dia tidak berpikir demikian. Mengatur bisnis dengan Buang bisa dia timbang dan hitung bakal untung-ruginya. Setidaknya, selama dua tahun ke belakang Buang sudah melancarkan usahanya mengirim gula ke selatan dan barat Jawa. Pekerjaan itu dilakukannya sebagai layanan tambahan. Tak pernah dia meminta upah atau balasan, belum lebih tepatnya. Tjitro memandang ada sebagian dirinya pada Buang, sebelum sanggup memberi bukti untung tak akan dia minta dibagi. 

Tubuh Tjitro sempoyongan saat akan naik cikar, lantaran kedua sapi penarik tiba-tiba menggeliat, bahkan tongkatnya pun tak cukup membantu. Buang dengan sigap menangkapnya sehingga tak terjatuh. Buang tertawa melihat wajah Tjitro sempat tegang. 

“Kau mengejekku?” cetus Tjitro. 

“Tentu saja tidak, kejadian tadi bukan sesuatu yang bisa dijadikan ejekan. Aku hanya menyesal Koh,” ucap Buang, dia tak pernah menganggap ada sekat derajat di antara mereka. 

“Menyesal?”

Buang mengangguk, “Ya,” diam sebentar lalu meneruskan, “harusnya tadi kubiarkan saja supaya Koh punya cerita kelak ke anak cucu, kalau Akong mereka pernah dikerjai sapi.” 

Tjitro tergelak, “Sialan,” katanya. 

Sapi-sapi sudah membawa cikar setengah perjalanan. Obrolan antara Buang dan Tjitro berlanjut, layaknya dua orang karib. 

“Ada yang perlu kubicarakan denganmu,” air muka Tjitro berubah serius. 

Buang menanggapi dengan cara yang sama. Pandangannya lurus ke mata Tjitro. Orang bilang mata adalah jendela kejujuran dan keberanian, perlu dua itu untuk mendapat kesepakatan. Mudah bagi orang jujur untuk menatap mata lawan bicara. Buang tahu itu, berkali-kali dia melatih diri melakukannya. Tjitro hanya satu di antara lawan latihannya. 

“Seseorang mengerjaiku,” ujar Tjitro. 

Buang menahan agar kedua bola matanya tak berkedip. Dia masih mendengarkan.

“Seharusnya aku sudah bisa mengirim gula ke luar Jawa, ke Sumatera bahkan Kalimantan. Tapi lagi-lagi aku dijegal,” jelas Tjitro sambil membakar cerutunya. 

“Orangku tak cukup kuat ternyata, lagi-lagi aku selalu kalah di bagian akhir!” deras Tjitro, ada amarah di dalam kalimatnya. Pandangannya dia buang ke arah pohon-pohon yang terlihat seolah sedang berlari mengejar cikar.

Buang mengeluarkan klembak menyan dari saku, lalu menyalakan korek, dan membakarnya. Setelah mengepulkan asap pertama, baru Buang bersuara, “Setahuku distribusi gula memang masih dikuasai orang-orang lama, Koh.” Buang menarik lagi satu hisapan, “Koh Tjitro tak mencoba ke daerah timur?”

“Gila kau! Ongkos kirimnya tak akan sepadan,” tandas Tjitro.

Pikiran Buang memetakan masalah yang sedang dihadapi Tuan Tjitro. 

“Koh, serahkan urusan itu padaku,” ucap Buang. 

Tjitro menatapnya dalam-dalam, “Berapa harganya? kubayar kau di muka.”

Lihat selengkapnya