“Sebuah bangsa berdaulat karena rakyatnya, dan kita semua paham bahwa keberanian yang sesungguhnya datang pada saat kita menghadapi lawan yang menyusahkan. Dan saya percaya karena itu pulalah kita akan bersatu sampai akhir.”
Kalimat-kalimat itu berputar-putar dalam kepala Mustari sejak pertama kali dia dengar sekira enam tahun silam.
Suara seorang penyiar perempuan yang membuat kumpulan lelaki di ruang kosnya rela berdingkit-dingkit mengelilingi sebuah radio transistor di atas meja. Suasana henyak selama berita mengudara. Gegap gempita setelahnya. Sorak dan tepuk tangan malam itu riuh memenuhi ruangan yang luasnya tak seberapa. Setelah siaran usai, Mustari terlibat percakapan berapi-api bersama teman-teman sekolahnya. Tak lain tentang perlawanan.
Akhir tahun 1949 menjelang tahun 1950-an Mustari berada di tingkat pertama sekolah menengah atas.
Dia lebih beruntung dibanding kakaknya, Buang. Dulu orangtuanya bekerja pada Raden Margono. Seorang priyayi asal Yogyakarta yang kebaikannya terkenal kemana-mana. Setelah kedua orang tua mereka mati, beliaulah yang menyekolahkan Mustari. Dilihatnya Mustari sebagai bocah lelaki cerdas. Dugaannya benar karena Mustari tak pernah di posisi bawah selama masa sekolah, begitu pun saat masuk SMA di bilangan Taman Krida.
Masih basah di ingatan Mustari, tak lama setelah sekolah dibuka tercetuslah peristiwa berdarah itu. Bunyi rentet senjata bersahut-sahutan ditingkahi nyala bom memecah pagi yang masih ranum. Segelintir pelajar tengah digempur oleh sepasukan Belanda. Sekuat tenaga mereka memberi perlawanan dari balik parit di sisi timur. Meski tak lebih dari sepuluh, mereka mati-matian menahan serangan dari Barat. Yang tak diperhitungkan adalah tambahan musuh dari arah sebaliknya, satu truk banyaknya! Betapa sengit dan mendebarkan. Dan mengharukan ketika bunyi-bunyi seketika hening menjelang siang.
Di atas pokok ringin yang cukup berjarak dari tempat kejadian, Mustari melekat seperti cicak. Dia di sana, meski tak berani melibatkan diri. Perlawanan di kepala dan mantra-mantra yang acap keluar dari bibirnya, ternyata belum mampu mendaulat nyali. Membuah sesal yang sulit diakhiri.
Diakuinya, rasa sesal serupa bibit.
Bersemi disemai dendam dan keinginan membalaskan. Satu saja keinginannya, membuat penjajah sebenar-benarnya hengkang. Dan benarlah apa yang diucapkan si penyiar perempuan tentang sebuah bangsa berdaulat yang harus memiliki keberanian.
Malam ini, dipenuhi bekal dendam dan sesal yang ingin ditebusnya, Mustari mengendap-endap pergi ke hutan Brambang. Di balik hutan yang penuh cerita-cerita mengerikan tentang lelembut yang suka menyembunyikan bocah-bocah itu, bersembunyi pula para calon dalang yang kelak akan membuat cerita tentang negeri kita.
Mereka berkumpul di ceruk hutan yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang jeli nan pandai membaca tanda alam. Kalau kau berjalan pelan-pelan dan tetap menjaga arahmu ke utara, nanti kau akan menemukan pohon trembesi yang batang rantingnya menyerupai tangan-tangan Durga. Nah, berhentilah sejenak dan perhatikan isyarat yang diberikan semesta. Tutup matamu dan rasakan hening, jika kau sudah mendengar suara ricik aliran air, pergilah ke sana. Tak lama pasti kau akan menemukannya.
Mustari sudah fasih di luar kepala. Langkah kakinya memiliki ingatan meski dia berjalan dalam gelap. Niat dan tujuannya dia pasang pada tiap jejak yang ditinggalkan. Sehingga lekas-lekas benar dia ingin sampai dan menyampaikan beberapa rencana yang sudah mulai dijalankan.
Seperti yang dia sangka, kedatangannya bukan yang pertama. Beberapa lelaki sudah berkumpul bersama asap yang mengepul. Mustari pun mengangkat tinggi-tinggi besek yang dibawanya. Ubi, kacang, dan pisang rebus siap disajikan sebagai teman membakar tembakau. Tak butuh waktu lama, panganan itu segera diringkus bersama.
“Kau paling tahu yang kami butuhkan Mus,” kata lelaki yang rambutnya bergelombang dan nyaris menutupi mata, Sihar namanya.
“Kebetulan waktu aku lewat penjualnya masih ada Bang, moga saja dia tak kena sidak jam malam,” ucap Mustari sambil membagi gelas-gelas kopi.
“Semakin mendekati pemilu, rumor berkembang tak terhindarkan, orang-orang mulai berjaga-jaga,” tambah Sihar, mengambil satu pisang rebus lalu melemparnya ke arah lelaki yang sejak tadi duduk di sisi jendela.
Pisang yang dilempar Sihar dengan cekatan ditangkap Bugis. Yang terakhir ini bernama demikian bukan lantaran dia berasal dari seberang dan berdarah Sulawesi, melainkan berkat kegemarannya menyikat kudapan terutama koci-koci. Betul, kue ketan berisi centi itu! Saking sukanya, kawan-kawan sepakat memanggilnya begitu, sampai nama sebenarnya siapa mereka lupa.
“Selangkah lagi, Bung. Tinggal selangkah lagi pemilu pertama kita,” serunya.
“Apa menurutmu pemerintah sekarang sudah siap?” umpan lelaki yang tak berhenti mengunyah kacang rebus sejak mula besek dibuka, dia Sastroaji.
Omongan Sastroaji paling didengarkan di kelompok ini. Kedekatannya dengan pemimpin di pusat yang menyebabkan itu. Banyak berita datang lebih dulu kepadanya, lewat dia berita tersebut diedarkan ke anggota lain.
“Agustus sudah hampir lewat sementara anggota panitia TPS di banyak daerah belum tersusun,” katanya lagi.
“Kau benar, Bung. Sampai-sampai Bung Karno menyindirnya dalam pidato peringatan kemerdekaan kemarin,” Sihar menyahut.
Mustari duduk dan menyimak perbincangan. Dia paling muda di antara mereka, ditahannya untuk tidak berkomentar dulu. Tapi Mustari ingat apa yang diucap Bung Karno di waktu itu, ‘Siapapun yang menghalangi pemilu adalah pengkhianat revolusi’.
Bugis menepuk pundak Sastroaji, “Kita harus optimis Bung. Saya yakin pemilu ini akan membawa stabilitas politik negara kita di masa yang akan datang,” ucapnya, meraih satu pisang lagi, “Jangan sampai legislatif di masa depan masih berkompromi dengan Belanda dan mengerdilkan otoritas rakyat,” habis itu dia tak banyak suara, mulutnya dijejali berganti-ganti pisang, ubi, dan kacang.
“Kalau kita tak ingin jadi wayang yang dikendalikan oleh dalang, setidaknya partai kita harus masuk lima besar,” kata Sihar, kali ini dia menatap lekat wajah Sastroaji.
“Sebetulnya pusat sudah memiliki strategi sebagaimana yang pernah aku sampaikan kepada kalian, sudah diputuskan jika satu anggota legislatif akan mewakili seratus lima puluh ribu suara,” Sastroaji menjeda untuk menyalakan rokoknya, “kita hanya perlu mengamankan suara di Jawa Timur.”
Inilah waktu yang tepat, pikir Mustari.
“Maaf Bang, izinkan saya berbicara,” buka Mustari.
Kalimat Mustari seketika saja ditimpal gelak oleh yang lain.
“Kau ini macam anak kemarin sore saja pakai minta izin segala,” sahut Sihar.
Bugis bahkan melempar kulit kacang ke kepala Mustari. Sastroaji saja yang menanggapinya dengan tersenyum dan gerakan dagu, menunggu penjelasan Mustari.
“Begini Bang, diam-diam sebetulnya saya juga memikirkan hal tersebut. Sebagai partai yang percaya keadilan harus diberikan kepada kaum bawah, kita perlu memenangkan suara kaum buruh Bang,” kata Mustari berapi-api.
“Kalau itu kita semua pun tahu Mus,” sergah Sihar.
“Biarkan dia selesaikan dulu Har,” bela Bugis.
Sedikit grogi, Mustari meraih satu gelas di depannya, lalu meneguknya cepat. Entah gelas punya siapa. Sadar minumnya yang dihajar Mustari, Bugis melotot.
“Sudah seminggu ini saya menyusup ke pabrik gula,” Mustari diam sebentar menatap satu persatu lalu melanjutkan, “saya punya rencana.”
Baru pun Mustari hendak menangkap satu gelas lagi di depannya, dengan gesit Bugis, Sihar, maupun Sastroaji lebih dulu menarik gelas mereka. Mustari hanya menyengir lalu menggeser besek ke pinggir meja. Kemudian dia menjelaskan rencananya sambil menunjuk-nunjuk meja seolah di sana sudah terbentang peta kejadian.
Usai dia menjelaskan, rangkulan-rangkulan di pundaknya seolah memberi restu nawaitunya diijabah. Pasak yang sejak lama tertanam di kepala Mustari seolah baru saja dicabut, pikirannya terasa ringan melayang-layang.
Mustari belum sadar, rencana yang kelak dia jalankan ini akan menjadi sumber malapetaka besar baik bagi diri sendiri , terlebih banyak orang.
ooOoo