Waktu berlalu dengan lambat bagi Sinta. Setiap hari yang dilaluinya terasa berat dengan beban pengkhianatan yang terus menghantui pikirannya. Di rumah, suasana menjadi dingin dan canggung, dengan Aditya yang berusaha keras untuk memperbaiki keadaan namun tetap terjebak dalam rasa bersalah.
Sinta sering merenung di kamarnya, memikirkan semua momen indah yang pernah dia alami bersama Aditya. Kenangan manis itu kini terasa pahit, ternodai oleh bayang-bayang perselingkuhan. Sinta tahu bahwa dia harus membuat keputusan, namun hatinya masih terlalu terluka untuk berpikir jernih.
Suatu malam, Sinta memutuskan untuk berbicara dengan Aditya dengan hati yang lebih tenang. Dia ingin memahami mengapa semua ini terjadi dan apa yang sebenarnya dirasakan oleh suaminya. Di ruang tamu yang hening, mereka duduk berhadap-hadapan.
"Aditya, aku butuh kamu jujur padaku," kata Sinta dengan suara tenang namun tegas. "Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Laras? Mengapa kamu bisa terjebak dalam hubungan seperti ini?"
Aditya menundukkan kepalanya, merasa berat untuk memulai. "Sinta, aku benar-benar menyesal. Laras dan aku awalnya hanya rekan bisnis. Namun, seiring waktu, aku merasa ada kekosongan dalam diriku yang entah bagaimana diisi oleh keberadaannya. Aku tahu ini bukan alasan, dan aku salah."
Sinta mendengarkan dengan hati yang perih. "Apakah kamu mencintainya?"