Bayang-bayang Kematian di Kursi Nomor Satu

Shabrina Farha Nisa
Chapter #1

Tragedi di Jalan Sepi

Jalan Raya menuju Puncak, Bogor

Sedan hitam mewah itu meluncur membelah jalanan menanjak yang berkelok menuju kawasan puncak. Di luar jendela, hamparan kebun teh hijau terhampar seperti permadani zamrud, diselingi vila-vila peristirahatan yang tampak damai di bawah langit yang sedikit berawan. Pemandangan yang indah, seharusnya menenangkan. Namun, di dalam mobil ber-AC yang dingin itu, suasana terasa berat, terisi oleh keheningan yang canggung dan ketegangan yang tak terucapkan antara dua penumpangnya.

Alex Satria, putra dari Reza Satria dan Presiden Nisa, memegang kemudi, jari-jarinya mencengkeram erat roda setir berlapis kulit. Matanya lurus menatap jalanan aspal di depan, tapi pikirannya melayang jauh. Bayangan wajah ibunya yang “sakit” dan tak bisa ia jenguk barang sedetik pun, ayahnya yang tampak menua sepuluh tahun dalam seminggu terakhir, serta berita-berita miring tentang keluarganya terus berputar di kepalanya. Perjalanan ini—ke vila peristirahatan keluarga di puncak yang sudah lama tak mereka kunjungi—seharusnya menjadi pelarian singkat, ide yang diusulkan dengan penuh semangat oleh Clara Anastasia di sampingnya.

"Kamu butuh udara segar, Lex," bujuk Clara beberapa hari lalu dengan tatapan penuh simpati. "Pergi sebentar dari Jakarta, dari semua tekanan ini. Kita bisa belajar bareng di sana, udaranya enak, tenang. Biar pikiranmu fresh lagi."

Alex, yang memang merasa tercekik oleh atmosfer suram di Istana (paviliun pribadi mereka kini terasa seperti pusat komando krisis, bukan rumah), dan merindukan sedikit saja kenormalan masa remaja, akhirnya luluh. Ia merasa tak enak menolak tawaran Clara yang terdengar begitu tulus peduli padanya. Mungkin Clara benar, mungkin sedikit udara segar bisa membantunya menjernihkan pikiran. Ia pun meminta izin pada ayahnya, yang dengan enggan menyetujui, mungkin berpikir sedikit waktu “normal” bersama teman akan baik untuk kondisi mental Alex yang juga tampak terguncang karena rentetan masalah yang menimpa keluarganya itu. Reza hanya berpesan agar Alex hati-hati dan terus memberi kabar, tak lupa mengingatkan bahwa ada Paspampres tak berseragam yang akan mengikuti dari jarak jauh demi keamanan (sesuatu yang Alex sendiri kurang suka, tapi ia mengerti posisinya).

Namun, sejak mobil meninggalkan Jakarta, Alex merasa keputusannya salah. Keheningan di antara ia dan Clara terasa berbeda dari biasanya. Clara lebih banyak diam, memandang ke luar jendela, sesekali melirik Alex dengan ekspresi yang sulit dibaca. Keresahan Alex yang sempat ia rasakan beberapa waktu lalu tentang intensitas perhatian Clara kini kembali dengan lebih kuat. Apakah Clara punya maksud lain dengan perjalanan ini? Apakah ia mencoba memanfaatkannya di saat ia sedang rapuh?

"Kamu kok tegang gitu sih, Lex?" suara Clara tiba-tiba memecah lamunan Alex. "Rileks aja dong. Kita kan mau liburan sebentar."

Alex mencoba tersenyum tipis. "Nggak tegang kok. Cuma ... cuma … mikirin papa sama mama aja."

Clara menghela napas pelan, nadanya berubah serius. "Aku tahu ini berat buatmu. Tapi kamu nggak boleh terus-terusan murung gini. Kamu harus kuat, Lex. Demi dirimu sendiri, demi orang tuamu juga." Ia mengulurkan tangan, menyentuh lengan Alex lembut. "Dan ingat, ada aku di sini buatmu."

Sentuhan itu lagi. Dan kata-kata itu. Terdengar suportif, tapi entah mengapa membuat Alex merasa semakin tidak nyaman. Ia menarik lengannya dengan halus. "Makasih, Clara. Tapi aku baik-baik aja kok."

"Baik-baik aja?" Clara menarik tangannya kembali, nadanya sedikit meninggi. "Kamu pikir aku nggak lihat kalau kamu beberapa hari ini kayak mayat hidup? Kamu pikir aku nggak tahu kamu tertekan? Aku ini temanmu, Lex! Kenapa sih kamu nggak mau terbuka sama aku?"

Lihat selengkapnya