Tiga Bulan Sebelumnya (Pertengahan Tahun 2049)
Istana Negara, Jakarta
Mentari sore memandikan halaman Istana Negara dengan cahaya keemasan yang hangat, seolah ikut merayakan periode ketenangan yang langka setelah badai politik dahsyat yang menerpa beberapa bulan sebelumnya. Udara Jakarta, meski masih menyimpan denyut metropolitannya yang tak pernah tidur, terasa sedikit lebih ringan hari itu. Di taman belakang yang terawat apik, tempat Nisa Farha dan Reza Satria seringkali mencari jeda dari hiruk-pikuk kekuasaan, tawa riang anak-anak terdengar memecah keheningan protokoler.
Sebuah acara sederhana, tetapi penuh makna tengah berlangsung: Podcast Curhat Cinta Istana, yang digagas Nisa dan Reza. Podcast itu, yang awalnya dianggap sebagai proyek sampingan yang iseng, secara tak terduga meledak menjadi fenomena nasional. Suara Nisa yang menenangkan, dipadu dengan celetukan jenaka, tetapi penuh empati dari Reza, ternyata menjadi balsam yang dibutuhkan jutaan telinga di seluruh negeri. Mereka membahas isu-isu seputar pernikahan, pengasuhan anak, hingga tekanan hidup sehari-hari dengan bahasa yang membumi, jujur, dan tanpa menghakimi. Keberhasilan podcast inilah yang mendorong Nisa untuk menciptakan ruang fisik di lingkungan Istana bagi para staf dan keluarga mereka untuk berbagi cerita dan mendapatkan dukungan.
Hari ini, Nisa, dalam balutan blus tenun Sumba berwarna cerah yang bersahaja, tampak begitu lepas. Ia berjongkok, menyamai tinggi seorang gadis kecil pemalu yang merupakan putri salah satu staf kebersihan Istana, mendengarkan celotehnya dengan penuh perhatian. Reza, berdiri tak jauh darinya, terlibat obrolan santai dengan beberapa ayah muda dari korps Paspampres, berbagi tips—atau mungkin keluhan—tentang begadang mengurus bayi. Pemandangan itu begitu kontras dengan ketegangan yang mencekam di Situation Room atau sidang paripurna beberapa bulan silam.
Ini adalah buah manis dari perjuangan pahit mereka. Pengesahan Undang-undang Kesiapan Berkeluarga meski melalui jalan terjal penuh fitnah dan perlawanan sengit, kini mulai menunjukkan dampak positifnya secara perlahan. Angka permohonan dispensasi nikah di bawah umur dilaporkan menurun signifikan di beberapa daerah percontohan. Kursus pranikah yang dimodernisasi dan diwajibkan mulai mendapat apresiasi karena materinya yang relevan dan aplikatif. Meski resistensi dari kelompok konservatif belum sepenuhnya padam, narasi publik perlahan bergeser ke arah penerimaan, didorong oleh testimoni nyata dari pasangan-pasangan muda yang merasakan manfaat persiapan yang lebih matang.
Popularitas Nisa Farha sebagai presiden meroket ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia tak lagi hanya dilihat sebagai teknokrat cerdas atau politisi tangguh, tetapi juga sebagai "Ibu Bangsa" yang peduli pada fondasi terkecil negara: keluarga. Survei-survei opini publik terbaru secara konsisten menunjukkan dukungan yang luar biasa agar Nisa kembali maju untuk periode kedua. Tagar #NisaLagiUntukIndonesia seringkali mendominasi percakapan di media sosial, jauh mengalahkan tagar-tagar negatif yang pernah mencoba menjatuhkannya. Euforia dukungan ini terasa begitu nyata, hangat, dan menjanjikan jalan yang mulus menuju kontestasi berikutnya.
Di tengah kerumunan kecil itu, Angel Marina dan Anton Prasetya berdiri berdampingan, mengamati Nisa dan Reza dengan senyum lega. Beban berat yang mereka pikul bersama selama krisis RUU lalu kini terasa lebih ringan.
"Aku hampir gak percaya kita bisa sampai di titik ini, Anton," bisik Angel pelan, matanya masih tertuju pada Nisa yang kini tertawa bersama ibu-ibu staf Istana. "Rasanya ... baru kemarin kita semua hampir gila karena badai fitnah itu."
Anton Prasetya mengangguk, membetulkan letak kacamatanya. "Kerja keras Ibu Presiden, soliditas tim, dan ... mungkin sedikit keajaiban dari dukungan publik," jawabnya analitis seperti biasa, namun ada kehangatan dalam nada suaranya. "Tapi ... kita gak boleh lengah, Angel. Periode bulan madu ini tidak akan selamanya. Pemilihan berikutnya semakin dekat, lawan politik pasti tidak akan tinggal diam."
Angel menghela napas. "Kau benar. Aku hanya berharap ... kali ini tidak sebrutal kemarin."