SMA Obor Nusa, Jakarta Selatan, dan Sebuah Kafe Kelas Menengah
Di antara riuhnya koridor SMA Obor Nusa yang dipenuhi tawa, obrolan, dan langkah kaki terburu-buru para siswa dari keluarga paling berpengaruh di negeri ini, Clara Anastasia melangkah dengan aura berbeda. Bukan aura angkuh atau acuh tak acuh seperti sebagian siswa lainnya, melainkan aura fokus yang tenang, sepasang mata cokelatnya yang cerdas selalu tampak mengamati dan menganalisis, menyimpan ambisi besar di balik penampilan sederhana, tetapi rapi. Kemeja seragamnya selalu licin disetrika, roknya pas di bawah lutut, dan rambut hitam panjangnya terikat ekor kuda yang praktis.
Clara adalah anomali di sekolah elite ini. Ia masuk bukan karena nama besar orang tua atau pundi-pundi keluarga, melainkan murni karena beasiswa prestasi penuh yang ia raih dengan susah payah. Latar belakangnya jauh dari gemerlap teman-temannya. Ibunya seorang perawat yang bekerja shift ganda, ayahnya telah lama meninggalkan mereka, dan Clara muda harus ikut menanggung beban merawat neneknya yang sakit serta memastikan adik laki-lakinya tetap bisa sekolah dengan benar. Rumah kontrakan kecil mereka di pinggiran kota adalah dunia yang berbeda 180 derajat dari rumah-rumah mewah bergaya Eropa atau vila-vila luas dengan kolam renang milik teman-teman sekolahnya.
Kesenjangan ini, alih-alih membuatnya minder, justru menjadi cambuk bagi Clara. Ia belajar lebih keras dari siapapun, nilai-nilainya tak pernah tergeser dari peringkat teratas. Klub debat bahasa Inggris adalah panggungnya menunjukkan kelihaian berargumentasi, dan olimpiade sains adalah ajang pembuktian kecerdasannya. Ia sopan pada guru, menjaga jarak sopan dengan teman-teman yang terlalu fokus pada gaya hidup, dan menghabiskan sebagian besar waktunya di perpustakaan atau bekerja paruh waktu sebagai guru les privat sepulang sekolah. Tujuannya satu: meraih beasiswa penuh ke universitas ternama di luar negeri, mengubah nasib keluarganya, membuktikan bahwa ia bisa bersinar meskipun berasal dari latar belakang yang sulit.
Ambisi yang membara inilah, ditambah kecerdasan dan penampilannya yang menarik secara natural, yang membuatnya “terlihat”. Bukan oleh teman-teman sebayanya, tetapi oleh mata jeli tante Widya. Wanita paruh baya yang memperkenalkan diri sebagai “pembimbing karier” dan “pencari bakat muda” itu mendekati Clara suatu sore di perpustakaan umum, tempat Clara biasa belajar hingga larut.
Dengan senyum keibuan dan kata-kata penuh pujian atas prestasi Clara, tante Widya berhasil memenangkan kepercayaan gadis itu dalam waktu singkat. Ia mendengarkan cerita Clara tentang kesulitan keluarganya dengan penuh simpati, lalu, dalam pertemuan berikutnya di sebuah kafe yang sedikit lebih mewah dari yang biasa Clara kunjungi, ia menawarkan “uluran tangan”.
"Saya melihat potensi luar biasa dalam dirimu, Clara," ujar tante Widya sambil mengaduk kapucinonya. "Sayang sekali jika potensi itu terhambat hanya karena masalah biaya. Saya punya beberapa kenalan di yayasan beasiswa internasional dan juga di beberapa perusahaan besar. Saya bisa bantu membuka jalan untukmu."
Mata Clara berbinar, secercah harapan terang benderang muncul di hatinya yang seringkali diliputi kecemasan akan masa depan. "Benarkah, Tante? Saya ... saya sangat berterima kasih ...."
Tante Widya tersenyum menenangkan. "Tentu saja. Saya senang membantu anak muda berbakat sepertimu. Tapi," ia berhenti sejenak, menatap Clara dengan tatapan “bijak”, "dalam hidup ini, membangun jaringan itu sangat penting, Nak. Kemampuan akademis saja kadang tidak cukup. Kamu harus pandai bergaul, terutama dengan orang-orang yang bisa memberimu pengaruh positif."