Bayang-bayang Kematian di Kursi Nomor Satu

Shabrina Farha Nisa
Chapter #8

Keretakan Awal dan Keresahan

Beberapa Hari Setelah Skandal Meledak

Istana Negara dan Lingkungan SMA Obor Nusa

Beberapa hari telah berlalu sejak “bom” skandal video palsu Nisa-Zidan meledak, tetapi guncangannya masih terasa kuat di seluruh penjuru Istana Negara, terutama di dalam keheningan paviliun pribadi pasangan Presiden. Udara terasa berat, sarat ketegangan yang tak terucapkan. Nisa Farha dan Reza Satria bergerak di sekitar satu sama lain seperti dua planet yang keluar dari orbitnya—masih saling terikat oleh gravitasi tak kasat mata bernama cinta dan komitmen lima belas tahun, tetapi lintasan mereka tak lagi sinkron, terganggu oleh badai eksternal yang memaksa mereka berputar dalam kecemasan masing-masing.

Nisa menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang kerja, membenamkan diri dalam tumpukan dokumen negara atau rapat-rapat virtual dengan timnya. Ini adalah caranya bertahan: bekerja, menjaga rutinitas, membangun kembali dinding profesionalisme yang sempat runtuh oleh serangan personal itu. Tapi di malam hari, ketika hanya ada ia dan Reza, dinding itu terasa begitu tipis. Ia merindukan pelukan hangat suaminya, obrolan ringan mereka, tapi ia tak tahu bagaimana cara memulai. Setiap kali ia mencoba membuka percakapan tentang perasaannya—rasa terhina, takut, marah—ia melihat kilatan lelah yang begitu dalam di mata Reza, dan kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Ia tak ingin menambah beban Reza yang jelas sudah sangat berat.

Reza, di sisi lain, juga terjebak dalam pergulatannya sendiri. Amarahnya pada para pemfitnah istrinya masih membara, tapi kini bercampur dengan frustasi dan kelelahan akibat serangan ganda—pada bisnisnya dan kini pada kehormatan Nisa. Ia menghabiskan energinya berkoordinasi dengan tim hukum, tim komunikasi Istana, dan bahkan tim keamanan internal Reza Corp untuk melacak sumber fitnah dan menyiapkan bantahan. Ia ingin melindungi Nisa, menjadi perisai bagi istrinya, tapi ia merasa gagal. Serangan itu terlalu brutal, terlalu cepat. Dan melihat Nisa yang kini lebih banyak diam, menarik diri di balik topeng ketegarannya, membuat Reza merasa semakin jauh dan tak berdaya. Ia ingin meraih Nisa, tapi ia takut salah bicara, takut menambah luka istrinya.

Makan malam mereka menjadi ritual bisu yang menyakitkan. Duduk berhadapan di meja makan yang terasa terlalu besar, mereka lebih banyak menatap piring masing-masing daripada saling bertukar pandang.

"Bagaimana rapatmu dengan tim hukum tadi, Mas?" tanya Nisa suatu malam, mencoba memecah keheningan.

"Lambat," jawab Reza singkat, terdengar lelah. "Mereka masih mencoba menganalisis metadata video itu. Sulit sekali melacak sumber aslinya." Ia berhenti, lalu bertanya balik, "Kamu ... sudah makan obatmu?" Pertanyaan standar yang kini terasa seperti formalitas menggantikan keintiman mereka.

Lihat selengkapnya