Bayang-bayang Kematian di Kursi Nomor Satu

Shabrina Farha Nisa
Chapter #9

Keputusan Panik Nisa

Beberapa Hari Kemudian

Istana Negara, Jakarta

Dinding-dinding Istana Negara yang megah dan kokoh itu kini terasa seperti menyempit, menekan Nisa Farha dari segala arah. Udara di dalam kompleks kepresidenan yang ber-AC terasa pengap, sarat dengan bisik-bisik tak terdengar, tatapan penuh tanda tanya, dan tekanan politik yang semakin hari semakin brutal. Setiap dering telepon, setiap notifikasi berita, setiap laporan dari tim komunikasi terasa seperti jarum baru yang menusuk kulitnya yang sudah terlalu tipis.

Nisa merasa ia berada di ambang batas. Tidurnya hanya serpihan mimpi buruk yang gelisah. Nafsu makannya hilang. Rapat-rapat kenegaraan yang dulu ia pimpin dengan fokus dan energi kini terasa seperti beban berat yang harus ia seret dengan sisa-sisa tenaga. Ia melihat pantulan wajahnya di cermin—pucat, lelah, dengan lingkaran hitam pekat di bawah mata yang bahkan tak mampu disamarkan riasan terbaik sekalipun. Ini bukan lagi wajah Presiden Nisa Farha yang inspiratif; ini wajah seorang wanita yang sedang dihancurkan perlahan-lahan.

Serangan fitnah terhadap Reza masih membayangi, mengganggu konsentrasi suaminya dan menciptakan jarak di antara mereka. Skandal video palsu dirinya dan Zidan terus menjadi santapan media gosip dan senjata lawan politik. Dan yang terburuk, ia merasa terisolasi justru di saat ia paling membutuhkan dukungan.

Reza... suaminya itu memang masih ada di sana. Secara fisik, ia mendampingi Nisa, menggenggam tangannya, mengucapkan kata-kata dukungan. Tapi Nisa bisa merasakan beban berat yang juga ditanggung Reza—stres karena bisnisnya yang terusik, kemarahan atas fitnah yang menimpa istrinya, dan mungkin, jauh di lubuk hatinya, secercah keraguan yang tak terucapkan meski Reza berusaha menyangkalnya. Reza lebih banyak diam, tenggelam dalam pekerjaannya sendiri atau rapat-rapat dengan tim hukum. Nisa tak sanggup lagi berbagi kerapuhannya, takut hanya akan menambah beban di pundak Reza yang sudah terasa akan patah.

Angel dan Anton, kedua staf kepercayaannya, bekerja tanpa lelah di garis depan, mencoba memadamkan api gosip, menyiapkan bantahan, dan menjaga citra Istana. Tapi Nisa melihat tatapan prihatin di mata mereka, tatapan yang terasa seperti campuran antara loyalitas dan kasihan. Ia tak ingin dikasihani. Ia adalah Presiden Republik Indonesia, bukan pasien yang perlu dirawat. Perasaan ini membuatnya semakin menjaga jarak, membatasi interaksi hanya pada urusan pekerjaan yang paling mendesak.

Lihat selengkapnya