Bayang-bayang Kematian di Kursi Nomor Satu

Shabrina Farha Nisa
Chapter #12

Empat Masalah Menghimpit

Hari Ini, Minggu Kedua Sejak Nisa “Sakit”

Istana Negara, Rumah Sakit VVIP Jakarta, Media Massa

Udara di Istana Negara terasa semakin tipis setiap harinya. Bukan karena kurangnya oksigen, tapi karena lapisan tebal tekanan, kerahasiaan, dan kecemasan yang menyelimuti setiap sudut koridor, setiap ruang rapat, bahkan setiap helaan napas para penghuninya. Memasuki minggu kedua sejak pengumuman resmi 'sakit'-nya Presiden Nisa Farha, Istana terasa seperti kapal induk yang bocor di empat titik lambung sekaligus, sementara badai di luar tak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Tim inti yang tersisa—Reza Satria, Angel Marina, Anton Prasetya, di bawah komando sementara Wapres Pradipta Angkasa—berlari dari satu titik api ke titik api lainnya, mencoba memadamkan kebakaran sambil menjaga agar rahasia terbesar mereka tidak ikut terbakar hangus.

Empat front pertempuran itu kini terasa seperti monster berkepala empat yang terus menggerogoti mereka:

Satu: Hantu Skandal Video Nisa-Zidan. Meskipun berita tragedi Alex kini lebih mendominasi, hantu skandal video itu menolak untuk mati. Setiap beberapa hari, akun-akun anonim atau portal berita oposisi kembali 'mengingatkan' publik tentangnya, mengunggah ulang potongan gambar atau video dengan narasi baru yang mempertanyakan moralitas sang Presiden yang sedang 'sakit'. Tim siber Istana masih buntu. Teknologi deepfake itu terlalu canggih, atau mungkin sumber penyebarnya terlalu lihai menghilangkan jejak. Keraguan atas karakter Nisa tetap menjadi senjata laten yang siap diledakkan kapan saja.

Dua: Badai Hukum Alex Satria. Ini adalah luka menganga yang paling menyakitkan bagi Reza, dan menjadi fokus perhatian publik yang paling intens. Penemuan fakta kehamilan Clara Anastasia telah mengubah segalanya. Media melukis Alex sebagai remaja kaya raya tak bertanggung jawab yang menghamili pacarnya lalu membunuhnya dalam kepanikan. Komentar-komentar keji membanjiri kolom berita: "Anak Presiden kelakuan bejat!", "Penjarakan seumur hidup!", "Buah jatuh tak jauh dari pohonnya?"—kalimat terakhir itu secara implisit mengaitkannya dengan skandal video Nisa. Alex sendiri, di kamar rumah sakitnya yang steril namun terasa seperti penjara, semakin menarik diri. Trauma fisik dan psikologis membuatnya sulit memberikan keterangan yang konsisten pada penyidik, yang justru semakin memperkuat kecurigaan terhadapnya. Tim pengacara terbaik yang disewa Reza bekerja siang malam, tapi mereka melawan opini publik yang sudah terbentuk dan 'motif' yang tampak begitu jelas di permukaan.

Tiga: Guncangan Bisnis Reza Corp. Audit independen yang dipaksakan oleh tekanan politik berjalan alot dan melelahkan. Setiap transaksi, setiap kontrak, setiap pertemuan bisnis Reza di masa lalu kini diobrak-abrik, mencari celah sekecil apa pun. Meskipun Reza yakin tak ada pelanggaran hukum, proses ini sangat mengganggu citra dan operasional perusahaannya. Harga saham sedikit banyak terkoreksi, beberapa investor menunda keputusan investasi, dan mitra bisnis mulai bertanya dengan nada khawatir. Reza harus membagi energinya yang sudah terkuras untuk memimpin perusahaannya melewati turbulensi ini, sambil terus menyangkal tuduhan konflik kepentingan yang tak berdasar.

Empat: Misteri 'Sakit'-nya Presiden Nisa. Ini adalah bom waktu konstitusional. Semakin lama Nisa 'absen' tanpa kejelasan medis yang transparan, semakin besar tekanan pada Wapres Pradipta Angkasa. Pertanyaan publik berubah dari simpati menjadi skeptisisme, lalu menjadi tuntutan. "Sakit apa sebenarnya?" "Kapan bisa kembali bertugas?" "Apakah negara disandera oleh kondisi kesehatan Presiden?" Hardiman Suryo menjadi orator utama yang menyuarakan keraguan ini, tampil di berbagai acara talkshow, mendesak pembentukan tim dokter independen untuk memeriksa Nisa, sebuah usulan yang jelas bertujuan untuk membongkar kebohongan Istana atau memaksa Nisa mundur karena 'berhalangan tetap'. Dan di balik layar, lobi-lobi politik semakin intens. Partai-partai koalisi, yang cemas akan elektabilitas mereka di pemilu mendatang jika terus dikaitkan dengan Presiden yang 'bermasalah' dan 'sakit-sakitan', mulai serius mempertimbangkan untuk 'mengevaluasi ulang' dukungan mereka pada Nisa untuk periode kedua. Deadline pendaftaran Bacapres yang tinggal kurang dari dua bulan lagi terasa seperti pedang Damocles yang menggantung di atas kepala tim Istana.

Di tengah pusaran inilah, rapat koordinasi harian di Situation Room menjadi ajang pelepasan stres sekaligus pengambilan keputusan krusial yang semakin sulit. Wajah Wapres Pradipta tampak semakin berkerut, meskipun ia berusaha menjaga wibawanya. Angel dan Anton terlihat kurang tidur, mata mereka memerah karena terlalu lama menatap layar data dan membalas serangan media. Reza Satria ... ia tampak seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Lebih kurus, tatapannya sering kosong, meskipun ia berusaha keras untuk tetap fokus dan memberikan masukan strategis.

Lihat selengkapnya