Masih di Minggu Kedua Sejak Nisa “Sakit”
Persembunyian Nisa, Senen, Jakarta Pusat
Rumah kontrakan sempit di gang senggol kawasan Senen itu menjadi kepompong sekaligus penjara bagi Nisa Farha. Dindingnya yang lembap dan berjamur terasa merayap mendekat setiap hari, langit-langitnya yang rendah seolah menekan dadanya. Jendela satu-satunya di ruang depan selalu ia tutup rapat dengan tirai kain kusam peninggalan penghuni lama, takut ada mata asing yang mengintip, meskipun kemungkinan Presiden Republik Indonesia bersembunyi di tempat seperti ini nyaris nol. Siang hari terasa panas dan pengap, malam hari terasa dingin dan terlalu sunyi, hanya dipecah oleh suara tikus di loteng atau deru motor yang sesekali lewat di gang depan.
Tempat ini begitu jauh berbeda dari kemegahan Istana Negara, dari ruang kerja ber-AC dengan pemandangan taman hijau, dari paviliun pribadi yang hangat dan nyaman tempat ia biasa berbagi cerita dengan Reza di penghujung hari. Di sini, ia sendirian. Benar-benar sendirian. Ponsel lamanya hanya ia nyalakan sesekali untuk memantau berita sekilas atau mengirim pesan anonim singkat pada satu-satunya kontak rahasia yang ia coba bangun dengan susah payah (seorang mantan relawan junior yang kini bekerja di perusahaan telekomunikasi, yang ia harap bisa membantunya melacak sesuatu tanpa banyak tanya). Makanan sehari-harinya adalah nasi bungkus dari warteg terdekat yang ia beli diam-diam saat hari sudah gelap, dimakan di atas meja reyot ditemani sebotol air mineral.
Di tengah kesendirian dan kondisi yang begitu kontras inilah, pikiran Nisa seringkali melayang jauh ke masa lalu. Ke masa-masa perjuangannya merintis jalan menuju puncak kekuasaan yang kini terasa begitu ironis ia raih. Malam-malam tanpa tidur bukan lagi karena beban negara atau intrik politik, tapi karena dihantui pertanyaan eksistensial: untuk apa semua pengorbanan yang pernah ia lakukan jika akhirnya seperti ini?
Ia teringat masa mudanya. Masa ketika teman-teman sebayanya sibuk mencari pacar, nongkrong di kafe terbaru, atau merencanakan pernikahan impian, Nisa justru tenggelam dalam buku-buku tebal tentang hukum tata negara, filsafat politik, dan laporan-laporan pembangunan. Ia menghabiskan akhir pekannya bukan di mal atau bioskop, tapi di diskusi-diskusi mahasiswa yang panas, aksi-aksi sosial di kampung-kampung kumuh, atau menjadi relawan di lembaga bantuan hukum untuk rakyat miskin. Waktu luangnya tercurah untuk mengasah pikirannya, membangun jaringan aktivisnya, dan merumuskan idealismenya tentang Indonesia yang lebih baik, lebih adil.