Bayang-bayang Kematian di Kursi Nomor Satu

Shabrina Farha Nisa
Chapter #15

Alex yang Terluka

Masih di Minggu Kedua Sejak Nisa “Sakit”

Rumah Sakit VVIP Jakarta

Dinding steril berwarna putih gading di kamar perawatan VVIP itu terasa semakin mendekat setiap hari, mengurung Alexander Satria dalam sangkar kesunyian dan rasa sakit. Secara fisik, ia mulai membaik. Jahitan di kepalanya sudah mengering, meskipun denyut pusing kadang masih menyerang. Lengan kirinya yang patah masih terbalut gips tebal, menggantung kaku di gendongan kain, tapi rasa ngilu akutnya sudah berganti nyeri tumpul yang lebih bisa ditahan. Namun, luka yang tak kasat mata—luka di dalam jiwanya—terasa semakin menganga lebar, bernanah oleh trauma, ketakutan, dan perasaan ditinggalkan yang begitu pekat.

Siang berganti malam dalam siklus monoton yang hanya ditandai oleh jadwal pemeriksaan dokter, kunjungan perawat untuk memberikan obat atau mengganti infus, dan sesi fisioterapi awal yang menyakitkan. Di luar rutinitas medis itu, Alex lebih banyak menghabiskan waktunya menatap kosong ke arah jendela yang memperlihatkan secuil pemandangan gedung-gedung tinggi Jakarta, atau kadang menatap langit-langit putih kamarnya, membiarkan pikirannya melayang dalam labirin kenangan buruk dan kecemasan akan masa depan.

Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan mengerikan itu kembali datang. Kilasan pertengkaran hebatnya dengan Clara di mobil. Teriakan histeris gadis itu. Gerakan tangan Clara meraih kemudi. Suara decit ban yang memekakkan telinga. Benturan keras yang meremukkan logam dan tulang. Lalu wajah Clara yang pucat pasi, tak bernyawa, di sampingnya. Kadang ia terbangun dengan napas tersengal dan keringat dingin, jantungnya berdebar kencang seolah baru saja mengalami kecelakaan itu lagi.

Lalu ada fakta kehamilan Clara. Berita itu seperti bom atom kedua yang menghancurkan sisa-sisa pertahanan mentalnya. Hamil? Bagaimana bisa? Alex terus mengulang penyangkalannya dalam hati, lalu menyuarakannya dengan frustrasi pada pengacaranya, pada perawat, bahkan pada dinding kamarnya saat sendirian. Ia yakin seyakin-yakinnya ia bukanlah ayah dari janin itu. Hubungan mereka belum sejauh itu. Tapi siapa yang akan percaya? Hasil otopsi menjadi “bukti” yang tak terbantahkan di mata dunia, dan penyangkalannya hanya membuatnya terlihat semakin bersalah.

Lihat selengkapnya