Bayang-bayang Kematian di Kursi Nomor Satu

Shabrina Farha Nisa
Chapter #17

Titik Terendah Nisa

Memasuki Minggu Keempat Sejak Nisa “Sakit”

Persembunyian Nisa, Senen, Jakarta Pusat

Hari-hari berlalu dalam siklus monoton yang menyesakkan di rumah kontrakan sempit di Senen. Siang berganti malam tanpa terasa bedanya di dalam ruangan yang selalu remang-remang tertutup tirai kusam itu. Debu semakin tebal melapisi perabotan reyot, tumpukan piring kotor bekas makan nasi bungkus kadang menumpuk di sudut dapur kecil yang lembap, dan bau pengap semakin menusuk hidung. Tempat ini, yang awalnya terasa seperti benteng persembunyian, kini lebih terasa seperti liang kubur yang mengisap sisa-sisa semangat hidup Nisa Farha.

Sudah hampir empat minggu ia terkurung di sini. Empat minggu hidup dalam ketakutan, isolasi, dan keputusasaan yang semakin pekat. Upaya “penyelidikan” solonya menemui jalan buntu di setiap tikungan. Ponsel lamanya dengan kartu SIM prabayar anonim terbukti hampir tidak berguna. Ia mencoba menghubungi beberapa nomor kontak lama Zidan yang berhasil ia temukan dari arsip digital pribadinya yang ia simpan di cloud storage—beberapa teman kuliah arsitektur, mantan kolega di proyek lama—tapi hasilnya nihil. Nomor-nomor itu sudah tidak aktif, atau jika tersambung, orang di seberang sana tidak mengenalinya (atau pura-pura tidak kenal) dan langsung menutup telepon begitu Nisa mencoba bertanya tentang Zidan.

Pencarian informasi daring juga sia-sia. Berita tentang kematian Zidan hanya sebatas laporan awal penemuan mayat dan spekulasi kaitannya dengan skandal video Nisa. Tidak ada detail penyelidikan polisi yang bocor. Hardiman Suryo dan lawan-lawan politiknya lebih fokus mengeksploitasi “sakit”-nya Nisa dan kasus Alex. Seolah kematian Zidan sengaja dibiarkan mengendap dalam misteri, sedangkan Nisa—saksi kunci yang paling mungkin mengungkap sesuatu—terkurung tak berdaya.

Ia mencoba menganalisis ulang memori traumatisnya di apartemen Zidan. Mencari detail janggal yang mungkin terlewat. Posisi mayat, kondisi ruangan, bau aneh itu ... tapi otaknya terasa buntu, terhalang oleh kabut syok dan ketakutan. Setiap kali ia mencoba fokus, bayangan wajah kaget Reza, Angel, dan Sarah saat menemukannya di sana kembali muncul, memicu gelombang paranoia baru. Apakah mereka benar-benar hanya kebetulan datang? Atau ...? Nisa menggelengkan kepala keras-keras, mencoba mengusir pikiran buruk itu, terutama tentang Sarah, sahabatnya. Tidak, ia tidak boleh berpikiran buruk tentang mereka tanpa bukti. Tapi ketidakpastian itu menyiksanya.

Setiap malam, ia menyalakan televisi butut peninggalan penghuni lama, mencari berita terbaru dengan volume suara sangat pelan. Apa yang ia lihat hanya menambah luka di hatinya. Berita tentang Alex. Putranya itu kini resmi ditetapkan sebagai tersangka tunggal dalam kasus kematian Clara. Meskipun belum ditahan karena alasan medis, status tersangka itu seperti stempel panas yang membakar masa depan Alex. Media terus memojokkannya, mengungkit kembali fakta kehamilan Clara sebagai motif utama. Nisa melihat cuplikan wawancara dengan pengacara Alex yang tampak kesulitan memberikan argumen pembelaan yang kuat. Hatinya menjerit ingin berteriak membela putranya, mengatakan pada dunia bahwa Alex tidak bersalah, bahwa ini semua jebakan! Tapi ia tak bisa. Ia terkurung di sini.

Lalu berita tentang situasi politik. Wapres Pradipta Angkasa tampak semakin tertekan. Pernyataannya tentang kondisi “kesehatan” Nisa semakin normatif dan tidak meyakinkan. Hardiman Suryo semakin berani menyerang, menuntut bukti, bahkan mengancam akan menggunakan hak angket DPR. Partai-partai koalisi dikabarkan sudah mulai melakukan pertemuan-pertemuan tertutup untuk membahas “skenario terburuk”. Nisa tahu, waktunya hampir habis. Jika ia tidak segera muncul dengan bukti yang membersihkan namanya dan mengungkap konspirasi ini, posisinya sebagai presiden akan benar-benar tamat, dan kebohongan yang dibangun timnya untuk melindunginya justru akan menjadi bumerang yang menghancurkan mereka semua.

Lihat selengkapnya