Waktu yang Sama, Beberapa Jam Kemudian
Persembunyian Nisa dan Istana Negara
Jari-jari Nisa Farha gemetar hebat setelah menekan tombol “kirim” di laptop tua itu. Pesan terkirim. Hanya beberapa kata sandi, sebuah kode darurat dari masa lalu yang mungkin sudah terlupakan, dikirim dari akun email terenkripsi yang sudah bertahun-tahun tidak aktif, melalui koneksi internet tetangga yang tidak stabil. Kini, tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menunggu.
Menunggu adalah siksaan baru yang lebih menyakitkan daripada isolasi itu sendiri. Setiap detik terasa seperti satu jam. Setiap suara derit kayu di rumah kontrakan reyot itu membuatnya tersentak. Setiap bayangan yang bergerak di luar jendela (yang tetap ia intip sesekali di balik tirai kusam) membuatnya menahan napas. Apakah pesannya sampai? Apakah Angel masih ingat kode itu? Apakah Angel masih menggunakan akun email rahasia itu? Apakah Angel masih orang yang sama yang ia percaya sepenuh hati dulu? Atau ... apakah jalur komunikasi ini sudah disadap? Apakah ia baru saja memberitahu lokasinya pada musuh-musuhnya?
Pikiran-pikiran itu berputar liar, menguras sisa-sisa tenaganya yang sudah terkuras oleh demam dan keputusasaan semalam. Ia mencoba merebahkan diri di kasur kapuk yang lembap, tapi matanya tak bisa terpejam. Harapan dan ketakutan bergulat hebat dalam dirinya. Jika Angel merespons, ini bisa menjadi awal dari akhir mimpi buruknya. Jika tidak ..., ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa lagi. Mungkin menyerah adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.
Di Istana Negara, di tengah kesibukan luar biasa mengelola krisis “sakit”-nya presiden dan rentetan masalah keluarga Satria, Angel Marina duduk membungkuk di depan layar komputernya di ruang kerjanya yang kini terasa lebih sering ia tempati daripada apartemennya sendiri. Matanya lelah menatap barisan surel yang masuk tanpa henti—permintaan wawancara dari media, draf pernyataan pers yang perlu direvisi, laporan analisis sentimen media sosial, memo dari protokoler Wapres Pradipta, dan ratusan email internal lainnya.
Ia menghela napas, memijat pelipisnya. Sudah hampir empat minggu Ibu Presiden “sakit”, dan tekanan semakin menjadi-jadi. Ia merindukan kehadiran Nisa, bukan hanya sebagai atasannya, tapi juga sebagai mentor dan figur kakak yang selalu bisa memberikan arahan bijak di saat tersulit sekalipun. Ia yakin seyakin-yakinnya Nisa dijebak dalam kasus Zidan itu, tetapi kaburnya Nisa membuat segalanya menjadi rumit. Dan penyelidikan diam-diam yang coba ia lakukan sendiri sejauh ini belum membuahkan hasil signifikan. Semuanya terasa buntu.
Saat itulah, sebuah notifikasi email masuk di akun pribadinya yang jarang ia buka untuk urusan pekerjaan. Bukan akun email resmi Istana, tapi akun lama yang ia buat semasa kuliah dulu, yang juga ia gunakan untuk jalur komunikasi darurat terenkripsi dengan Nisa bertahun-tahun silam, saat Nisa baru memulai karir politiknya dan mereka sering paranoid tentang kemungkinan disadap. Pengirimnya anonim, subjeknya kosong. Angel hampir saja menghapusnya, menganggapnya spam atau phishing. Tapi entah kenapa, sebuah intuisi menahannya. Ia membukanya.
Isinya hanya satu baris teks. Bukan kalimat, hanya rangkaian huruf dan angka acak yang tampak seperti kesalahan ketik. Tapi bagi Angel, rangkaian itu seketika membuatnya membeku. Jantungnya berhenti berdetak sesaat. Itu ... itu bukan kesalahan ketik. Itu kode! Kode darurat Alfa-Zulu-77! Kode yang pernah mereka sepakati bersama Nisa untuk situasi krisis paling ekstrem, kode yang menandakan "Aku dalam bahaya besar, butuh bantuan segera, jalur biasa tidak aman." Kode yang sudah bertahun-tahun tak pernah mereka gunakan dan hampir Angel lupakan.
Nisa! Ini pasti dari Ibu Nisa! Beliau masih hidup! Beliau butuh bantuan!