Beberapa Hari Kemudian
Istana Negara dan Rumah Sakit VVIP Jakarta
Reza Satria menatap kosong layar laptop di ruang kerjanya di Istana. Angka-angka laporan keuangan Reza Corp yang seharusnya ia analisis terasa seperti barisan semut tak berarti. Pikirannya melayang pada Alex di rumah sakit—kondisi psikisnya belum menunjukkan kemajuan berarti, masih sering diam dan menolak bicara banyak. Lalu pikirannya melayang lagi pada Nisa—di mana istrinya itu sekarang? Apakah ia aman? Setiap detik tanpa kabar terasa seperti sayatan di hatinya. Beban yang ia pikul terasa semakin berat, menggerus sisa-sisa optimismenya. Ia mulai merasa putus asa. Mungkin Hardiman Suryo benar-benar akan menang kali ini.
Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Angel Marina masuk, wajahnya tampak lelah seperti biasa, tapi ada binar berbeda di matanya hari ini, sesuatu yang Reza sudah lama tidak lihat: secercah harapan?
"Pak Reza," sapa Angel pelan, memastikan pintu tertutup rapat di belakangnya. Ia melangkah mendekati meja Reza, suaranya direndahkan menjadi bisikan. "Ada kabar. Kabar baik."
Jantung Reza seketika berdegup kencang. Kabar baik? Di tengah lautan kabar buruk ini? "Kabar apa, Angel?" tanyanya, suaranya serak penuh antisipasi.
Angel tersenyum kecil, senyum lega yang tulus. "Ibu Presiden... beliau baik-baik saja, Pak. Relatif aman. Saya... saya berhasil melakukan kontak."
Rasanya seperti bendungan emosi yang selama berminggu-minggu Reza tahan dengan susah payah akhirnya jebol. Lututnya lemas, ia harus berpegangan pada tepi meja. Matanya memanas, pandangannya kabur oleh air mata yang tak bisa lagi ia bendung. Nisa... Nisa aman! Istrinya masih hidup! Beban terberat yang menghimpit dadanya selama ini seolah terangkat seketika.
"Di... di mana dia, Angel? Bagaimana kondisinya?" tanya Reza bertubi-tubi, suaranya bergetar hebat menahan isak tangis kelegaan.
"Lokasi persisnya beliau belum mau beritahu, Pak. Beliau masih sangat trauma dan... jujur saja, sedikit paranoid. Tapi beliau aman, hanya kelelahan dan stres berat. Beliau berhasil menghubungi saya lewat jalur darurat lama kita," jelas Angel hati-hati. "Beliau tahu tentang cerita 'sakit'-nya dan mengerti mengapa kita melakukannya. Beliau juga tahu tentang Alex... dan itu yang membuatnya semakin bertekad untuk mengungkap kebenaran."
Reza terduduk kembali di kursinya, menyandarkan kepalanya, membiarkan air mata kelegaan mengalir. Nisa aman. Nisa berjuang. Harapan itu, yang nyaris padam, kini menyala kembali dengan terang benderang di hatinya. "Syukurlah... Ya Tuhan, terima kasih..." gumamnya berkali-kali. Ada sedikit rasa sakit hati karena Nisa menghubungi Angel lebih dulu, bukan dirinya. Tapi ia segera menepisnya. Ia mengerti Nisa pasti punya alasan. Yang terpenting, Nisa aman dan mereka kini punya jalur komunikasi.