Bayang-bayang Kematian di Kursi Nomor Satu

Shabrina Farha Nisa
Chapter #23

Dia Terpojok

Minggu Keenam Sejak Nisa “Sakit”

Istana Negara dan Lokasi Aman Nisa

Di layar monitor besar di ruang rapat kecil yang aman itu, wajah Nisa Farha tampak tenang namun menyimpan ketegangan luar biasa. Di hadapannya, di meja rapat, duduk Reza Satria dengan rahang mengeras dan Angel Marina dengan tablet berisi rangkuman bukti di tangannya. Mereka bertiga baru saja selesai meninjau kepingan puzzle terakhir yang berhasil mereka kumpulkan selama hampir tiga minggu investigasi rahasia yang intensif dan penuh risiko.

Bukti aliran dana ratusan juta ke rekening Sarah sebelum kematian Zidan, yang sumbernya kini semakin jelas mengarah pada lingkaran bisnis Hardiman Suryo. Alibi Sarah pada sore krusial itu yang terbukti goyah dan penuh kebohongan. Hasil tes DNA yang memastikan bukan Alex ayah janin Clara, melainkan Pak Jono si tukang kebun. Laporan forensik independen yang menemukan anomali mencurigakan pada sistem kemudi dan rem mobil Alex. Ditambah pengakuan lirih Sarah sendiri di TKP Zidan ("Sudah kuduga dia akan nekat...") yang kini terasa begitu mengerikan jika dihubungkan dengan semua temuan ini.

Gambarannya sudah hampir utuh. Sarah Wijaya, sahabat terdekat Nisa, adalah pengkhianat. Ia terlibat, setidaknya secara tidak langsung, dalam pembunuhan Zidan Hidayat, dan kemungkinan besar bekerja di bawah perintah atau paksaan Hardiman Suryo. Hardiman sendiri adalah dalang utama yang tidak hanya merekayasa skandal video, tapi juga memanfaatkan tragedi Clara (yang mungkin ia ketahui atau bahkan ikut rencanakan) untuk menjebak Alex.

"Kita sudah punya cukup bukti untuk menyeret Hardiman, Bu," ujar Angel pelan, suaranya sarat emosi yang tertahan. "Tapi untuk benar-benar mengunci kasus pembunuhan Zidan dan membuktikan paksaan terhadap Sarah, kita butuh pengakuannya."

Nisa mengangguk dari layar. Wajahnya tampak menua dalam beberapa minggu terakhir, tapi matanya menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan. "Aku setuju, Angel. Kita perlu konfrontasi langsung dengannya. Kita perlu mendengar kebenaran dari mulutnya sendiri, betapapun menyakitkannya."

Reza mengepalkan tangannya. Memikirkan pengkhianatan Sarah membuat darahnya mendidih. "Dia harus membayar semua ini. Penderitaan Nisa, trauma Alex... dia harus bertanggung jawab."

Mereka pun menyusun rencana konfrontasi dengan hati-hati. Sarah akan diundang ke ruang rapat ini dengan alasan Wapres Pradipta ingin 'berkonsultasi langsung' dengannya dan Reza mengenai 'langkah-langkah pemulihan citra keluarga Presiden' menjelang Rapimnas Partai. Sebuah alasan yang cukup penting untuk memastikan Sarah datang tanpa curiga. Nisa akan bergabung melalui sambungan video terenkripsi setelah Sarah masuk. Semua percakapan akan direkam secara tersembunyi. Anton Prasetya dan tim keamanan internal Istana yang paling terpercaya sudah disiagakan di luar ruangan, siap bertindak jika diperlukan.

Sore itu, Sarah Wijaya datang tepat waktu, mengenakan blus sutra mahal dan tersenyum ramah seperti biasa pada Angel yang menyambutnya di pintu. "Wah, penting sekali ya sepertinya rapatnya? Sampai aku dipanggil langsung," ujarnya ceria, sama sekali tidak menyadari tatapan dingin Reza dan Angel yang mengamatinya saat ia masuk.

"Silakan duduk, Mbak Sarah," kata Angel datar, menunjuk kursi di seberang Reza.

Sarah duduk, meletakkan tas tangannya. "Pak Wapres mana, Njel? Katanya mau ikut rapat?"

"Beliau ada urusan mendadak sebentar, tapi beliau minta kita mulai duluan," jawab Angel tenang. "Sebenarnya, Mbak Sarah, ada hal lain yang lebih penting yang perlu kami bicarakan."

Senyum di wajah Sarah sedikit kaku. "Oh ya? Apa itu?"

Lihat selengkapnya