Bayang-bayang Kematian di Kursi Nomor Satu

Shabrina Farha Nisa
Chapter #25

Sang Dalang dari Segala Dalang

Dini Hari Berikutnya dan Beberapa Hari Kemudian

Rumah Sakit VVIP Jakarta dan Istana Negara

Kepanikan menjalari Hardiman Suryo seperti racun. Pengakuan Sarah Wijaya, penangkapan kroni-kroninya, dan bukti-bukti digital yang memberatkan—semuanya sudah sampai ke telinga pengacaranya. Penjara seumur hidup menantinya. Pelarian keluar negeri yang ia rencanakan semalam sebelumnya gagal total bahkan sebelum dimulai; semua akses bandara privat dan pelabuhan tikus yang ia siapkan ternyata sudah lebih dulu diamankan aparat, seolah ada yang membocorkan rencananya. Ia merasa seperti tikus dalam perangkap.

Di tengah keputusasaannya di ruang tahanan sementara Mabes Polri, sebuah pesan terenkripsi masuk ke perangkat komunikasi rahasia yang masih berhasil ia sembunyikan. Pesan dari satu-satunya orang yang mungkin masih bisa 'menolong'-nya, sang dalang sesungguhnya yang selama ini bermain cantik di belakang layar: sang dalang dari semua dalang.

Isi pesannya singkat namun mengerikan: "Rencana B. Lokasi Alex Satria, RS Sehat Sentosa, Paviliun Anggrek, Lantai 8. Gunakan sebagai jaminan. Aku akan bantu dari dalam. Ini kesempatan terakhir kita."

Mata Hardiman melebar. Alex Satria! Anak Presiden itu! Sang dalang benar. Itu satu-satunya alat tawar yang tersisa. Dengan Alex di tangan mereka, Nisa dan Reza pasti akan melakukan apapun untuk menyelamatkan putra mereka, termasuk mungkin membiarkan mereka berdua lolos. Risiko rencana ini gila-gilaan, tapi Hardiman tak punya pilihan lain. Sang dalang, dengan posisinya, pasti bisa menciptakan celah keamanan atau pengalihan perhatian.

Dengan bantuan beberapa petugas kepolisian rendahan yang ternyata diam-diam masih loyal pada sang dalang (atau sudah disuap sebelumnya), Hardiman berhasil meloloskan diri dari tahanan sementara pada dini hari yang buta itu. Sebuah mobil gelap sudah menunggunya di luar, membawanya bergabung dengan sang dalang (yang juga berhasil 'menyelinap' keluar dari pengawasan Istana dengan alasan darurat palsu) dan dua orang mantan pengawal pribadi sang dalang yang paling setia dan nekat. Mereka berempat kini melaju kencang menuju RS Sehat Sentosa. Sang dalang sudah merencanakan detail penyusupan, memanfaatkan pengetahuannya tentang jadwal pergantian jaga Paspampres dan polisi yang menjaga Alex.

Di paviliun Anggrek lantai 8 RS Sehat Sentosa, suasana relatif tenang. Alex Satria tertidur lelap setelah diberi obat penenang ringan oleh dokter untuk mengatasi traumanya. Di luar kamarnya, dua anggota Paspampres dan dua polisi berjaga bergantian. Reza Satria baru saja meninggalkan rumah sakit satu jam sebelumnya setelah menemani Alex hingga tertidur, kembali ke Istana untuk rapat koordinasi pagi dengan Angel dan Anton membahas persiapan pidato Nisa.

Sekitar pukul empat pagi, terjadi 'gangguan' kecil di lantai bawah rumah sakit. Alarm kebakaran palsu berbunyi di sayap gedung yang berbeda, menarik sebagian perhatian petugas keamanan. Di saat yang sama, sang dalang, menggunakan kartu akses khusus Wapres dan diikuti Hardiman serta dua pengawalnya yang menyamar sebagai staf medis, berhasil naik menggunakan lift servis menuju lantai 8. Mereka melumpuhkan petugas jaga lift servis dengan cepat dan tanpa suara.

Mereka kini berada di koridor lantai 8 yang sepi. Hanya ada dua Paspampres dan dua polisi yang berjaga di depan kamar Alex. Sang dalang memberi isyarat. Dua pengawalnya bergerak cepat dan brutal, menyerang para penjaga dari belakang menggunakan alat kejut listrik dan suntikan bius. Para penjaga itu tumbang sebelum sempat bereaksi atau membunyikan alarm.

Pintu kamar Alex didobrak terbuka. Alex tersentak bangun, matanya membelalak ngeri melihat sang dalang, Wakil Presiden Pradipta Angkasa, dan Hardiman Suryo (yang wajahnya penuh kebencian) berdiri di depan ranjangnya bersama dua pria berbadan tegap.

"Jangan berteriak, Nak," desis Pradipta dingin, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Ikut kami baik-baik, atau ayah dan ibumu tidak akan pernah melihatmu lagi."

Lihat selengkapnya