Malam itu hujan deras masih menghantam kota kecil tempat Nadia tinggal. Udara dingin menggigit, tapi dia terus melangkah cepat di bawah payung kecilnya yang tak cukup menahan derasnya hujan. Payung itu seolah hanya menjadi simbol, karena rambut dan bahu Nadia mulai basah terkena percikan air. Pikirannya masih terhanyut pada kenangan samar di toko buku tua yang baru saja ia kunjungi. Di sana, di antara tumpukan buku-buku tua, ia selalu menemukan sedikit ketenangan di tengah segala kekacauan hidupnya.
Tanpa terlalu memikirkannya, Nadia menyeberang jalan yang licin dan menuju ke sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan. Tempat itu sudah menjadi tempat pelariannya selama bertahun-tahun. Pintu kafe berderit pelan saat ia mendorongnya terbuka. Aroma kopi segar dan kayu manis yang menguar dari dapur segera menyambutnya, memberikan kehangatan yang sangat ia butuhkan.
Nadia melepaskan payungnya dan duduk di tempat favoritnya, sebuah meja kecil di sudut ruangan, dekat jendela besar yang memperlihatkan jalanan kota yang basah oleh hujan. Ia menatap keluar dengan pandangan kosong, membiarkan pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Setiap tetes hujan yang jatuh di atas jendela seolah mengingatkannya pada semua yang pernah ia coba lupakan—tentang cinta, pengkhianatan, dan perpisahan yang tidak pernah benar-benar sembuh.
Namun, saat Nadia tenggelam dalam lamunan, pintu kafe kembali berderit, menandakan kedatangan seseorang. Suara lonceng kecil yang menggantung di atas pintu berbunyi lembut, tapi Nadia tak langsung menoleh. Ia terlalu tenggelam dalam pikirannya untuk memperhatikan siapa yang datang.
Sampai kemudian, sebuah suara langkah kaki membuatnya perlahan menoleh dengan sendirinya. Matanya terhenti di ambang pintu. Sosok yang berdiri di sana, dengan tubuh basah kuyup dan rambut yang meneteskan air, membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak.
Rizky!
Tubuhnya membeku. Hatinya terhantam keras oleh kenyataan bahwa orang yang selama ini hanya ada dalam pikirannya, kini benar-benar berdiri di depannya. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, dunia seolah berhenti berputar. Tidak ada suara lain selain hujan deras di luar dan detak jantung Nadia yang semakin cepat.
Rizky, yang tampak sama terkejutnya, tidak segera bergerak. Matanya memandang Nadia dengan campuran kebingungan dan keterkejutan, seolah ia juga tidak percaya apa yang sedang terjadi.
"Nadia?" Suara Rizky akhirnya memecah keheningan, suaranya serak dan penuh keterkejutan.
Nadia menelan ludah, masih berusaha memproses apa yang terjadi. "Rizky?" jawabnya pelan, seakan memastikan bahwa ini bukan ilusi.