Nadia dan Rizky baru saja memesan minuman—secangkir kopi hitam untuk Rizky dan teh hijau untuk Nadia. Ketika pelayan beranjak pergi, mereka kembali duduk dalam keheningan yang dipenuhi oleh banyak pikiran yang tak terucap. Rizky masih sesekali melirik ke arah Nadia, seolah mencoba mencari celah untuk memulai pembicaraan tanpa membuat suasana semakin canggung.
Nadia menundukkan wajah sedikit, memainkan sendok kecil yang ada di samping cangkirnya. Suara hujan di luar masih deras, namun lebih lembut dibandingkan sebelumnya. Mungkin, seperti halnya suasana di antara mereka yang perlahan-lahan mulai mencair.
"Jadi, apa kabar hidupmu?" Rizky akhirnya membuka suara, mencoba terdengar santai, meski jelas ada keraguan dalam nadanya. "Apa yang kau lakukan sekarang, Nad?"
Nadia tersenyum tipis, menyadari betapa formal pertanyaan itu terdengar, seolah mereka adalah dua orang asing yang baru bertemu. Ia menyesap sedikit tehnya sebelum menjawab, "Aku… ya, begini saja. Masih seperti biasa yang kau pasti tahu." Ia memalingkan pandangannya ke arah jendela sejenak sebelum kembali fokus pada Rizky. "Tidak banyak yang berubah, sepertinya."
Rizky mengangguk pelan, senyuman samar muncul di wajahnya. "Begitu ya… Kau selalu suka suasana tenang seperti ini." Dia meneliti sekeliling kafe yang terasa nyaman, lalu kembali memusatkan perhatian pada Nadia. "Aku juga ingat betapa kau selalu menyukai hujan."
Nadia tersenyum lagi, kali ini lebih tulus, meski ada sedikit kerinduan yang tersirat di dalamnya. "Ya, mungkin itu satu hal yang belum berubah." Ia tertawa kecil, meski suaranya terdengar sedikit rapuh. Rizky tersenyum kecil, memperhatikan Nadia dengan saksama. "Siapa yang mengira akan bertemu denganmu di sini?"
Nadia mengangguk, melihatnya dengan penuh perasaan yang sulit dijelaskan. "Aku juga tidak menyangka. Pertemuan yang terlalu sempurna." Tatapannya menelusuri wajah Rizky, mencoba menemukan jejak pria yang dulu ia kenal begitu dekat. Ada yang berbeda, tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang masih sama—sesuatu yang membuat hatinya bergetar.
Mereka terdiam sejenak, menikmati minuman masing-masing, sambil membiarkan kata-kata yang tak terucap melayang di antara mereka. Tapi keheningan ini tidak lagi menekan seperti sebelumnya. Ada kenyamanan yang samar, meski perasaan gamang masih mengintai di baliknya.
"Kau tahu," kata Rizky tiba-tiba, suaranya pelan tapi cukup jelas, "Aku sering berpikir tentang kita. Tentang apa yang terjadi dulu." Dia tampak ragu-ragu untuk melanjutkan, tapi akhirnya ia melakukannya. "Kadang-kadang aku merasa... kita berpisah terlalu cepat, tanpa benar-benar memahami apa yang kita inginkan."