Pagi itu, meski langit begitu cerah dan cahaya matahari menyelinap lembut melalui jendela, hati Nadia masih diliputi oleh awan gelap. Hatinya terasa seperti tergulung dalam badai, seolah setiap langkahnya terbungkus kabut tebal yang membuatnya sulit bernapas. Saat ia membuka mata, angin pagi yang seharusnya membawa kesejukan justru terasa dingin menusuk, seakan menggambarkan kekosongan dalam dirinya.
Nadia berdiri di dapur, menggenggam cangkir kopi dengan kedua tangan. Kepulan asapnya menari di udara, tapi rasanya hampa—tak ada kehangatan yang masuk ke dalam hatinya. Matanya menatap kosong ke luar jendela, memperhatikan burung-burung yang bernyanyi riang di bawah sinar matahari. Namun, suara-suara itu seolah tidak bisa menembus perasaannya yang terkunci dalam penjara kenangan semalam. Ia merasa seperti boneka dalam pertunjukan kehidupan, gerakan tubuhnya tampak hidup, tapi hatinya tak mampu mengikuti.
Pembantu rumah tangga mereka datang, membawa senyum hangat seperti biasanya. "Sarapan sudah siap, Bu," katanya dengan nada ceria. Nadia hanya mengangguk pelan, suaranya tersekat di tenggorokan. Senyum yang ia paksa keluarkan terasa seperti topeng berat yang perlahan-lahan retak.
Meja makan yang biasanya penuh tawa kini tampak seperti panggung tanpa penonton. Suami dan anak-anaknya berbicara dan tertawa seperti biasa, tapi suara mereka seperti datang dari kejauhan, menggema di kepalanya tanpa pernah benar-benar sampai. Nadia menggerakkan sendoknya ke piring, tapi setiap gigitan terasa hambar, seperti menelan rasa pahit yang tak pernah pergi.
Ketika suami dan anak-anaknya pergi, rumah terasa berubah menjadi lautan kesunyian. Suara langkah kaki terakhir yang meninggalkan pintu itu bergema, dan Nadia berdiri di teras rumah, menatap jalan yang mulai kosong. Angin pagi menyapa wajahnya, namun ia merasa kedinginan sampai ke tulang.
Ia mengambil sapu, mulai membersihkan halaman, daun-daun yang jatuh terseret angin menjadi perumpamaan dari hidupnya—terombang-ambing tanpa arah. Setiap gerakan sapu itu seperti memindahkan kenangan yang berat. Ketika ia mengangkat kepala, napasnya tercekat di tenggorokan. Sosok itu, di kejauhan—Rizky.