Di luar, langit tampak kelabu, dan suara gemuruh halus mengiringi hujan yang turun dengan lembut. Hawa dingin yang menyusup melalui celah-celah jendela membuat Nadia menggigil sedikit. Di kamar yang remang, dia duduk termenung di atas tempat tidur, matanya menatap kosong ke arah cermin di sudut ruangan. Udara sejuk yang menyelimuti ruangan tak mampu meredakan kegelisahan yang bergulung dalam dadanya. Suasana malam itu sangat mendukung perasaan hampa yang menggelayut di hatinya—sebuah refleksi dari keadaan batinnya yang tampak kering dan sepi.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar pelan di atas meja. Layar menyala, menampilkan nomor yang tak dikenal. Nadia menatap layar itu, hatinya sejenak berhenti. Dengan sedikit ragu, ia meraih ponsel tersebut. Nomor itu tak familiar, namun suara di kepalanya sudah tahu siapa di baliknya. Setelah beberapa detik, dengan perasaan bercampur cemas dan harapan, dia menjawab panggilan itu.
"Halo?" Suaranya terdengar pelan, nyaris berbisik.
Di ujung sana, terdengar suara yang tak asing, meski kini terasa jauh dan terbungkus oleh lapisan perasaan yang rumit. Suara yang dia kenal begitu baik—Rizky. Setiap detik yang berlalu dalam keheningan sebelum suara Rizky mengisi ruang di ujung telepon seperti sebuah putaran waktu yang kembali membawanya ke masa lalu.
"Nadia, ini aku." Suara Rizky terdengar serak, seolah menahan sesuatu. "Aku tahu ini mendadak, tapi aku harus bicara denganmu. Ada hal penting yang harus kukatakan."
Nadia tercengang. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, rasa cemas, bingung, dan kesal bercampur jadi satu. Yang paling mengejutkannya, ternyata Rizky masih memiliki nomornya. Sudah sekian lama mereka tak berkomunikasi, dan Nadia tak pernah menduga Rizky akan menghubunginya lagi. Penampilan dirinya di cermin, yang hampir tanpa ekspresi, tampak kontradiktif dengan gejolak batin yang sedang dirasakannya.
"Aku... aku tidak tahu apakah kita perlu bicara sekarang, Rizky," kata Nadia dengan suara yang hampir patah. "Apa lagi yang bisa kita bicarakan setelah semua yang terjadi?"