Nadia tiba di taman tepat pukul sembilan malam. Hujan baru saja reda, menyisakan udara malam yang dingin dan lembap. Cahaya lampu taman memantul lembut di atas dedaunan basah, menciptakan suasana hening yang menyelimuti setiap sudut. Di kejauhan, beberapa lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menerangi jalur setapak yang tampak lengang, sementara bangku-bangku tua berbaris rapi di bawah bayangan pohon-pohon besar yang berdiri kokoh seakan menjadi saksi bisu pertemuan mereka.
Nadia melangkah pelan memasuki taman, matanya masih melihat sosok yang begitu dikenalnya. Hatinya berdebar, antara rindu yang terpendam dan kecemasan yang tak terelakkan. Ada nyeri halus yang menjalari hati Nadia saat melihatnya, duduk diam seolah memeluk segala kesedihan yang tak pernah selesai.
Langkah Nadia terhenti beberapa langkah dari bangku itu. Saat Rizky mendengar langkahnya, dia mengangkat kepala, dan mata mereka bertemu. Sejenak, waktu seakan berhenti, terhenti dalam keheningan malam yang dingin. Rizky berdiri perlahan, menyambut Nadia dengan senyum tipis yang samar, sarat dengan penyesalan yang tak terucap.
"Terima kasih sudah datang, Nadia," suara Rizky terdengar pelan, hampir berbisik.
Nadia menahan napas sejenak, mencoba meredam getar hatinya. “Aku … aku juga tak tahu harus mulai dari mana. Tapi, aku tahu kita perlu bicara.”
Mereka duduk berdampingan di bangku itu, tempat yang dulu menjadi saksi segala tawa, rindu, dan bisu yang mengisi waktu mereka bersama. Malam semakin larut, membungkus mereka dalam kesunyian yang sulit diterjemahkan. Rizky menatap Nadia, matanya penuh dengan perasaan yang terpendam.