Angin malam menderu tajam, menusuk hingga ke tulang. Desa Kembang Asri, yang biasanya tenang, mendadak terasa asing di bawah selimut kabut tebal yang menyelimuti jalan setapaknya. Bulan pucat menggantung rendah di langit, cahayanya terserap kabut, menciptakan bayangan-bayangan samar di balik pepohonan.
Rendra, seorang pria berusia tiga puluhan dengan tubuh kekar dan wajah penuh bekas luka, melangkah dengan hati-hati. Tangannya menggenggam erat pisau komando yang sudah setia menemani sejak masa tugas militernya di medan perang. Ia baru tiba di desa itu siang tadi, memenuhi undangan temannya, Wira, seorang kepala desa yang memintanya menyelidiki serangkaian peristiwa ganjil.
“Jadi, apa sebenarnya yang terjadi di sini?” tanya Rendra saat makan malam singkat di rumah Wira.
“Kabut itu, Ren,” jawab Wira dengan nada berat. “Setiap kali kabut turun, pasti ada orang yang hilang. Sudah delapan orang tahun ini.”
“Dan kau tidak melaporkannya ke polisi?”
“Polisi? Mereka datang sekali, tapi justru salah satu petugasnya ikut hilang.”
Kata-kata Wira terngiang di kepala Rendra saat ia menjejakkan langkah pertama di jalan setapak menuju hutan. Aroma lembab bercampur dengan bau anyir samar—seperti darah yang sudah mengering—tercium di udara.
"Siap atau tidak, aku harus mencari tahu," gumam Rendra sambil menyalakan senter kecil di genggamannya. Cahaya senter itu hanya mampu menembus beberapa meter kabut, tapi cukup untuk membuatnya tetap di jalur.
Langkah kakinya berhenti mendadak ketika mendengar suara langkah lain di kejauhan. **Tap, tap, tap**. Suara itu ritmis, nyaris menyerupai gema langkahnya sendiri, tapi terdengar lebih berat dan terputus-putus.
“Siapa di sana?” seru Rendra, suaranya tegas.
Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang mencekam.
Ia terus melangkah, kali ini lebih waspada. Pisau di tangannya siap melindungi, dan ia memastikan tidak ada sudut yang luput dari pandangannya. Ketika suara langkah itu muncul lagi, kali ini lebih dekat, Rendra menghentikan langkahnya. Ia mematikan senter dan menajamkan pendengaran.
**Krrk… krrk…**
Sebuah suara aneh, seperti sesuatu yang menyeret tubuh berat di atas dedaunan basah, terdengar dari arah kanan.
“Keluarlah!” Rendra menghardik, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya mencengkeram gagang pisau lebih erat.
Kabut mulai menipis sedikit, dan di baliknya, Rendra melihat sesosok bayangan berdiri diam. Sosok itu tinggi, jauh lebih tinggi dari manusia biasa, dengan lengan yang panjang tak proporsional. Wajahnya samar, seperti tertutup kain hitam yang bergerak-gerak, seolah hidup.
Rendra melangkah mundur dengan hati-hati. Nalurinya sebagai mantan tentara memerintahkan untuk tidak menyerang sebelum benar-benar terancam, tapi tubuhnya menegang, siap menghadapi apa pun.
“Manusia?” Suara serak dan menggema keluar dari bayangan itu, terdengar seperti berasal dari dua sumber sekaligus.
“Siapa kau?” tanya Rendra.