Pagi itu, matahari memanjat langit dengan pelan. Hangatnya tak terasa di kulit Elias yang berdiri di gerbang sekolah, kaku. Tas biru di punggungnya terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena buku-buku, tetapi karena beban yang jauh lebih tak terlihat, lebih mencekam: perasaan takut dan cemas yang selalu menyertai setiap langkahnya menuju kelas.
Elias, meski baru duduk di bangku kelas 5 SD, sudah memahami betapa dunia bisa menjadi tempat yang kejam. Ia tahu bahwa kecerdasan yang dimilikinya, meski membanggakan bagi beberapa guru dan orang tuanya, ternyata menjadi alasan untuk disingkirkan. Hari-hari Elias di sekolah, yang seharusnya penuh keceriaan seperti anak-anak seusianya, lebih sering dihabiskan dalam kesendirian, jauh dari keramaian teman-temannya. Bukan karena ia ingin begitu, melainkan karena ia merasa tak diterima.
"Hei, culun! Lihat siapa yang datang!"
Suara itu datang dari belakangnya, tajam dan menghunus seperti jarum. Elias menoleh dan melihat Kevin, bersama dua anak lainnya yang selalu mengikuti kemana pun Kevin pergi—Fahri dan Danang. Wajah mereka menunjukkan niat yang jelas, dan tak ada yang baik dari sorot mata mereka. Hati Elias berdegup kencang, darahnya berdesir. Kakinya seolah terpaku di tanah, tak mampu bergerak meskipun otaknya memerintahkannya untuk lari.
"Kenapa? Mau kabur?" Kevin menambah tekanan dengan tawa liciknya.
Elias menggeleng, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia mencoba memaksakan langkah, namun tubuhnya tak bekerja sesuai keinginannya. Dalam hitungan detik, Kevin sudah berada di depan wajahnya. Elias hanya bisa menatap tanah.