Bulan-bulan berlalu, dan meskipun waktu terus bergerak, hidup Elias seakan terjebak dalam siklus yang menyakitkan. Setiap pagi, ketika ia melangkah keluar dari rumahnya, jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena semangat menyambut hari, melainkan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi di sekolah. Bullying yang awalnya hanya berupa olok-olokan dan dorongan kini telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih parah—serangan fisik, penghinaan yang melukai harga diri, dan perlakuan yang tak manusiawi.
Suatu siang yang cerah, di lapangan sekolah, Elias tengah berjalan sendiri setelah makan siang. Ia mencoba untuk menghindari tempat-tempat ramai, tetapi bahkan itu pun tidak bisa menghindarkannya dari Kevin dan gengnya. Mereka menemukannya di sudut halaman sekolah, di belakang gedung tua yang jarang dilewati guru.
"Hei, Elias! Ke mana kamu mau pergi?" suara Kevin menggema, penuh ejekan. Elias tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang mendekat.
Kevin menarik kerah baju Elias, menyeretnya dengan mudah. "Sudah kubilang, jangan berusaha kabur dariku!"
Sebelum Elias bisa berkata apa-apa, pukulan pertama mendarat di perutnya. Napasnya tercekat, tubuhnya terlipat. Tapi Kevin tidak berhenti di situ. Ia menampar wajah Elias dengan keras, hingga anak itu jatuh ke tanah. Tawanya bersama Fahri dan Danang menggema di sekitar mereka, seolah-olah dunia bersekongkol untuk membuat Elias lebih menderita.
Namun kali ini, di tengah rasa sakit yang menghantam tubuhnya, sesuatu di dalam Elias mulai berubah. Ada bagian dari dirinya yang retak, tetapi retakan itu tidak membawa kelemahan—justru membawa kemarahan yang terpendam selama ini. Di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang baru: dorongan untuk melawan.
Meski ia tak berdaya untuk membalas saat itu, di dalam kepalanya, gambar-gambar balas dendam mulai terbentuk. Elias mulai memikirkan cara-cara untuk melawan Kevin dan gengnya. Ia tahu ia tidak cukup kuat untuk menghadapi mereka secara langsung, tetapi ada jalan lain. Di balik penderitaannya, Elias menemukan kenyamanan yang aneh dalam amarahnya. Amarah itu memberinya kekuatan, meski hanya di dalam pikirannya.
Di hari-hari berikutnya, perasaan marah dan kebencian ini semakin tumbuh. Elias mulai mencari pelarian dalam bentuk-bentuk lain. Ketika teman-teman sekelasnya menikmati musik pop dan lagu-lagu ceria, Elias tertarik pada musik yang lebih keras—lagu-lagu dengan lirik yang mencerminkan kemarahan dan rasa sakit yang sama seperti yang ia rasakan. Musik metal, punk, dan rock keras menjadi soundtrack harian hidupnya. Lagu-lagu itu menggambarkan dunia yang gelap, penuh dengan kekerasan, pemberontakan, dan balas dendam, sesuatu yang membuat Elias merasa tidak lagi sendirian.
Elias juga mulai tertarik pada film-film yang memperlihatkan dunia yang sama kelamnya. Film-film tentang anti-pahlawan, tokoh-tokoh yang hidup di luar batas moralitas, yang tidak ragu untuk menggunakan kekerasan untuk mendapatkan keadilan mereka sendiri. Di dalam kamar gelapnya, Elias tenggelam dalam cerita-cerita tentang perlawanan, tentang orang-orang yang dihina dan dilukai, tetapi akhirnya membalas dengan cara mereka sendiri.