Elias duduk di sudut kamar kecilnya, cahaya bulan menembus tirai tipis di jendela. Sekolah tidak pernah terasa lebih dingin, lebih sepi, meski hiruk pikuk anak-anak terus mengelilinginya setiap hari. Tawa dan hinaan Kevin serta gengnya masih menggema di benaknya. Meskipun fisiknya mulai kebal terhadap pukulan, emosinya tetap hancur setiap kali mereka menyerangnya. Namun, sesuatu berubah sejak ia bertemu Mischa.
Mischa bukanlah anak biasa. Dengan rambut yang selalu acak-acakan, tatapan kosong namun tajam, dia tampak tak terpengaruh oleh dunia luar. Mischa adalah seseorang yang, seperti Elias, membawa beban yang tak terlihat oleh orang lain. Mungkin itu yang membuat mereka cepat akrab, menemukan penghiburan dalam keheningan satu sama lain. Namun, Mischa memiliki sesuatu yang Elias tidak miliki—kekuatan.
Suatu sore, di taman di belakang sekolah, Mischa mengajak Elias untuk ikut berlatih. Dia memperlihatkan gerakan sederhana yang mampu menghindari pukulan, serta teknik melawan yang tak terduga. “Ini bukan soal menyerang lebih dulu,” kata Mischa. “Ini soal bertahan, lalu bertindak dengan cerdas.”
Elias, yang awalnya skeptis, mulai merasakan perubahan. Latihan fisik itu bukan hanya melatih tubuhnya, tapi juga membangun rasa percaya diri yang selama ini hilang. Gerakan demi gerakan, dia merasa lebih kuat, baik secara fisik maupun mental. Setiap pukulan yang berhasil ia hindari adalah satu langkah lebih jauh dari rasa takut yang mengikatnya. Di bawah bimbingan Mischa, Elias belajar bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk menghadapi lawan dengan kepala tegak.
Mereka berlatih hampir setiap hari. Dalam setiap gerakan, Elias merasakan kemarahan yang selama ini dipendamnya mulai terkendali. Kemarahan yang awalnya mendorongnya untuk merencanakan balas dendam kini menjadi sesuatu yang lebih terarah, lebih terkendali. Mischa tak pernah menyuruh Elias untuk membalas dendam, tapi dia juga tak pernah mencegahnya. Bagi Mischa, balas dendam adalah sesuatu yang harus diputuskan sendiri.
Ketika Elias berjalan di lorong sekolah beberapa minggu kemudian, sesuatu terasa berbeda. Kevin masih melirik tajam, tetapi kali ini Elias tidak lagi menundukkan kepalanya. Geng Kevin juga tampak waspada, seperti bisa merasakan perubahan dalam diri Elias. Meski belum terjadi apa-apa, ada aura baru yang mengelilingi Elias. Orang-orang mulai memperhatikannya, dan beberapa teman sekelas yang dulu tak pernah berbicara dengannya kini mulai mendekat, memberikan dukungan yang tak terduga.