Elias berjalan melewati lorong sekolah dengan langkah yang tegas, meskipun perutnya mual oleh ketegangan. Di dalam dirinya, badai bergemuruh—perasaan cemas, takut, dan marah yang bercampur menjadi satu. Dia tahu hari ini akan menjadi puncak dari semua konflik yang selama ini mengganggu pikirannya. Mischa sudah mengingatkan, "Ini bukan soal siapa yang menang atau kalah. Ini soal memilih jalanmu sendiri."
Saat Elias tiba di halaman belakang sekolah, dia melihat Kevin dan gengnya sudah menunggu. Angin sore yang sejuk tak mampu menenangkan suasana yang semakin memanas. Mischa berdiri di sampingnya, tenang seperti biasa, tatapannya tajam memantau situasi. Elias menarik napas panjang, merasakan denyut darah di tubuhnya, mencoba mengendalikan emosi yang siap meledak kapan saja.
"Jadi, kau benar-benar datang," kata Kevin dengan suara yang mencemooh, berjalan mendekat. "Kupikir kau hanya akan bersembunyi lagi, seperti biasanya."
Elias berdiri tegak, tidak mengalihkan pandangannya dari Kevin. "Aku sudah cukup lama bersembunyi," jawabnya, suaranya lebih stabil daripada yang ia perkirakan.
Kevin mendengus, seolah kata-kata Elias tidak ada artinya. Tapi kali ini, Elias merasakan sesuatu yang berbeda dalam tatapan Kevin. Ada ketidakpastian yang menyelinap di sana, seperti Kevin mulai menyadari bahwa Elias tidak lagi sama seperti dulu.
"Apa sekarang kau pikir bisa melawan kami?" Kevin menyeringai, menatap gengnya yang siap untuk bergabung.
Di saat yang biasanya membuat Elias merasa kecil, kali ini dia merasakan sesuatu yang lain—kekuatan, bukan hanya dari latihan bela diri yang sudah ia pelajari, tetapi dari kontrol atas dirinya sendiri. Elias tahu dia bisa melawan. Dia tahu bahwa jika pertarungan terjadi, dia akan mampu membela diri. Tapi apakah itu benar-benar yang dia inginkan?
Sebuah bayangan dari ajaran Mischa melintas di benaknya. “Kekuatan bukan soal menyerang lebih dulu, Elias. Tapi soal mengendalikan diri.”